Antara Penulis, Jurnalis dan Humas

Saya hidup pada tiga “Alam”. Alam seorang penulis (kolumnis), alam seorang jurnalis dan alam seorang praktisi (Konsultan) kehumasan (Public Relations). Saya belajar teori menjadi seorang “Jurnalis” dan “Public Relations” dari kampus. Sementara saya belajar menjadi seorang penulis secara otodidak (belajar mandiri). Belajar dengan banyak-banyak membaca dan jam terbang mengirimkan tulisan ke berbagai media. Selama kuliah, saya bisa hidup dan membayar uang kuliah, membeli banyak buku hanya dari hasil menulis ke berbagai media (terutama koran dan majalah cetak).

Alhamdulillah, saya juga bisa melamar orang yang saya cintai, menikahinya dan membiayai kehidupan rumah tangga “hanya” dengan menulis saja. Walau tak mewah, hidup secukupnya saja. Tapi rupanya, dunia bergerak begitu cepatnya. Koran-koran dan majalah cetak berguguran. Padahal, di situlah saya menggantungkan hidup selama ini. Kini, sepertinya tinggal tersisa Kompas cetak, Majalah Tempo dan Media Indonesia saja yang kasih honor. Itupun tak lagi banyak, bahkan berkurang. Dulu masih ada sekitar 50-an lebih media yang berikan honor, saya hanya tinggal bergonta-ganti menulis di media itu.

Hidup saya tiba-tiba jadi kurang menyenangkan, untuk tak menyebut berantakan. Dulu, saya memang memilih profesi jadi penulis saja karena ini profesi yang cukup independen, saya bisa menuangkan pikiran dengan bebas tanpa intervensi siapapun. Tapi, karena profesi itu tak lagi bisa mencukupi, kemudian saya terjun jadi “Jurnalis”, bekerja pada sebuah perusahaan media dan mendapat gaji bulanan, rupanya, tak cukup juga gajinya. Saya lalu banting setir kerja di “Agency”, menjadi seorang humas (public relations). Profesi yang saya kenal sejak mahasiswa tapi kuliah-kuliahnya tak saya sukai karena kurang sesuai nurani. Tapi, akhirnya saya malah jadi “Nyebur” ke sini.

Mungkin, orang memandang pekerjaan dan profesi itu serupa. Tapi, saya kira tidak juga. Kalau boleh disederhanakan dengan kata-kata yang ringkas, “hadisnya” begini. Seorang penulis itu “hadisnya” “Katakan Selaras Hati Nuranimu”, sedangkan seorang jurnalis “Katakan Yang Benar Walau Pahit”, sementara seorang humas, “hadisnya” boleh dibilang “Katakan Yang Baik Atau Diam”. Barangkali, itulah yang membedakan antara ketiganya. Pasti, semua bakal paham perbedaannya.

Di sini, bisa dibayangkan betapa “menjeritnya” hati nurani seorang jurnalis “Idealis” ketika misalnya hanya disuruh menulis atau melaporkan yang baik-baik saja dari program-program pemerintah, padahal sebenarnya aslinya berantakan. Begitu pula betapa was-wasnya seorang “Humas” ketika dipaksa “Berkata Benar” sementara misalnya ia harus berkata kepada publik untuk menyelamatkan “Citra perusahaan atau citra pemerintah”. Kerumitan “Nurani” beredar di situ.

Tapi, karena “Keadaan”, kini saya malah nyebur pada ketiganya. Saya ya seorang “Penulis”, “Jurnalis” sekaligus “Humas (Public Relations)”. Serakah? Nggak juga. Hanya, boleh dibilang saling mengisi. Sebagai seorang penulis, saya tak begitu masalah, masih cukup bisa independen suarakan pesan sesuai nurani. Untuk bisa “Kritis” dan berusaha berkata benar walau pahit, saya kini mendirikan dan mengelola sebuah media online sendiri. Sementara, untuk kerja-kerja kehumasan (public relations), saya mendirikan semacam firma (agensi) yang bergerak dalam komunikasi strategis spesialis branding tokoh publik.

Era Disrupsi di mana sering dimaknai sebagai perubahan besar yang fundamental dan mendobrak tatanan lama untuk digantikan dengan sistem atau cara baru, sering kali dipicu oleh inovasi dan teknologi, menjadikan orang dalam berbagai profesi beradaptasi. Kini, saya juga coba berusaha lentur dan luwes. Agar dunia bisa baik-baik saja. Caranya, dengan mendudukkan segala sesuatu (profesi) pada tempatnya. Ini, salah satu cara saya dan tim bertahan dalam gempuran zaman.

(Yons Achmad, kolumnis tinggal di Depok)

About the Author

Yons Achmad

Penulis | Pembicara | Pencerita

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You may also like these