Di perjalanan, hujan tiba-tiba datang. Saya melipir tak sengaja ke sebuah percetakan merchandise. Salah satunya bisa mencetak kaos sablon satuan. Sambil meneduh, saya masuk saja. Menanyakan berapa harga kaos sablon satuan. Terjangkau, maka sambil menunggu reda, satu kaos warna hitam dengan tulisan warna putih jadi. Di belakang, tertulis “Setiap Senja Adalah Cinta, Setiap waktu Adalah Rindu”.
Ketika muda, saya memang penggemar sajak-sajak “Cinta”. Salah satunya, penyair dari Selatan Santiago, Chili. Tak lain tak bukan, Pablo Neruda. Salah satu karyanya “Dua Puluh Sajak Cinta dan Satu Nyanyian Putus Harapan”. Izinkan saya kutip satu puisi karyanya, berjudul “Aku Ingin Jadi Keheningan Untukmu”.
Aku ingin jadi keheningan untukmu: Seakan kau tak ada
Dan kau dengar aku dari jauh, tapi suaraku tak menyentuhmu
Seperti matamu yang mengalur hingga jauh
Seperti ada sebuah kecupan yang mengunci mulutmu
Begitu juga, saya pernah membaca karya Chairil Anwar “Sang Binatang Jalang” yang hatinya kerap hancur di sepanjang hidupnya. Lihatlah satu sajak karyanya “Tak Sepadan”.
Aku kira
Beginilah nanti jadinya
Kau kawin, beranak dan berbahagia
Sedang aku mengembara serupa Ahasveros
Dikutuk-sumpahi Eros
Aku merangkaki dinding buta
Tak satu juga pintu terbuka
Jadi baik juga kita padami
Unggunan api ini
Karena kau tidak kan apa-apa
Aku terpanggang tinggal rangka
Di lain waktu, saya juga menikmati sajak-sajak Muhammad Iqbal, Sang Filsuf dan Penyair asal Punjab, India. Kita dengarkan satu sajaknya yang berjudul “Pesan Kepada Bangsa Timur”
Bangunlah kerajaan cinta di tempatmu berdiam
Ciptakan nama baru fajar dan malam kemilau
Tenunlah kata-katamu
Sepotong kaos sablon itu, mungkin biasa. Tapi, saya belajar bagaimana pikiran dan kata-kata yang keluar lewat mulut kita, atau tulisan-tulisan kita, tak ke luar begitu saja. Ia, hasil persinggungan intelektual dengan khazanah lain yang kita baca, kita cermati dan kita resapi. Hidup, rasa-rasanya memang semacam itu ya. “Setiap Senja Adalah Cinta, Setiap waktu Adalah Rindu”. []