Saya Manusia Kamar

Saya memang manusia kamar. Itulah tempat paling nyaman. Tak ada yang lebih nyaman bagi saya selain kamar. Entah itu kamar sendiri di rumah, kamar apartemen, kamar hotel. Pokoknya, ketika berada di dalam kamar, di saat itulah kenyamanan paling puncak yang terasakan. Sendiri di dalam kamar, tidak ada suara apapun yang terdengar. Di situ, saya membaca dan menulis. Oh Tuhan, terimakasih atas nikmat dunia semacam ini.

Hanya konon, kita makhluk sosial. Ada kalanya, ke luar kamar, sekadar berjumpa dengan kawan lama. Ngopi-ngopi. Baiklah, saya tak menolak. Dengan langkah kaki secukupnya, pakaian hitam-hitam, topi tak ketinggalan serta sedikit semprotan parfum  versi hitam “Kahf Revered Oud” bismillah, kita melangkah. Kali ini, ngopi di “Sepanjang Braga”, Bandung.

Ke luar juga dari hotel kecil “Vasaka Maison” seberang alun-alun Masjid Kota Bandung. Selepas isya. Suasana masih ramai. Orang-orang berjalan. Bersama keluarga dan anak-anak, bersama pasangan masing-masing. Saya, kali ini sendirian saja. Datang ke kota “Pak RK dan Bu Cinta”, ada sebuah agenda kecil.

“Semakin tambah usia, aku ngerasa semakin nggak punya temen,” kata kawan saya, sambil menyeruput kopi kesukaannya.

Itu pengakuan kawan lama. Kami sengaja berkabar untuk sekadar bertemu tanpa agenda. Ia, kemudian merasa, saat posisinya lumayan tinggi dalam sebuah perusahaan swasta, ia merasakan banyak kawan yang saling menyapa. Waktu itu uang  tak terlalu masalah baginya, gaji bulanan sudah lebih dari cukup. Maka, kumpul-kumpul bareng kawan, tak masalah, bahkan ketika dirinya sering yang mentraktirnya.

Dunia berputar, entah bagaimana perusahaannya di Jakarta bergejolak. Singkat cerita, ia harus merasakan kenyataan pahit, kena PHK. Saat umur yang tak lagi muda, sebagai generasi milenial, tak cukup sanggup bersaing lagi dengan anak-anak generasi Z (Gen-Z). Ia kemudian, memutuskan membuka bisnis dan usaha sendiri. Mulai dari nol. Sejak itu, ia mulai merasa kehilangan kawan. Tidak pernah atau jarang lagi ada ajakan kumpul-kumpul sekadar ngopi bareng.

Sebagai manusia kamar, saya khusyuk menyimak cerita kegelisahannya. Ia merasa ditinggalkan kawan-kawannya dulu. Sepertinya, saat ngopi-ngopi selesai, kegelisahan masih tersimpan. Dirinya, bahkan sampai lupa menanyakan kabar atau cerita saya haha.

Saya kembali ke kamar dan menuliskan cerita ini. Sebagai manusia kamar, sendirian, bagi saya tak masalah. Sampai seumur ini dan punya istri dan anak-anak, saya memang hanya punya sedikit teman. Saya sangat jarang pula menerima tahu di rumah, mungkin tak lebih dari sepuluh orang yang datang bertamu ke rumah setahun ini.

Satu hal yang membuat saya masih bertemu dengan orang adalah ide. Ya, saat bertemu dengan orang, tak lain tak bukan adalah tentang ide yang sekiranya bisa dijalankan, bersama-sama.  Ide, entah itu bisnis, komunitas atau ide-ide kebaikan lain. Tentu ide yang tak hanya menguntungkan saya saja, tapi juga menguntungkan dirinya. Itulah “kekayaan” saya saat ini.

Inilah kisah kecil  tentang “Sang Manusia Kamar” yang penuh dengan ide-ide ciamik yang bakal mengguncang dunia. Ahai.

(Yons Achmad. Kolumnis, tinggal di Depok)

About the Author

Yons Achmad

Penulis | Pembicara | Pencerita

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You may also like these