Di dalam sebuah kajian terbatas, Sang Guru menukil sebuah perkataan ulama. Bunyinya, man arafa nafsahu arafa rabbahu. Artinya, “Barang siapa yang mengenal dirinya, sungguh ia telah mengenal Tuhannya.” Setelah menjelaskan agak panjang lebar, saya pun ditanya. Kalau antum ditanya siapa kamu, jawabnya apa? Spontan saya jawab “Saya seorang eksistensialis,” Beliau agak kaget. Lalu saya jelaskan panjang lebar. Kemudian beliau bilang “Antum kayaknya harus bertobat,” dengan nada candaan. “Siap,” kata saya tanpa membantah.
Guru saya ini memang cukup moderat. Tak terlalu banyak mendoktrin. Tapi lebih kepada memberikan perspektif. Seperti biasa, saya suka “nakal” dengan berikan alternatif jalan lain. Sering dibilang ke luar dari syariat oleh teman-teman lain. Kalau sudah begini, seperti biasa, saya menyepi di sebuah masjid. Duduk sendiri, merenungi pemikiran dan kehidupan. Mencoba menemukan pencerahan baru. Tak terkecuali, sampai sekarang saya masih sering lakukan usaha-usaha demikian.
Perkenalan saya pada eksistensialisme awalnya hasil membaca beragam buku, belajar secara autodidak, bukan diperkenalkan oleh sebuah guru atau dosen tertentu. Maka, kalau dalam Islam, ada istilah belajar dengan “Sanad”, maka saya tidak, jadi wajar jika terjadi sedikit banyak kekeliruan di sana sini. Tapi, terlepas dari situ, prosesnya cukup menyenangkan walau cukup menghabiskan waktu. Saya belajar dan menjalani hidup eksistensialis secara mandiri. Dengan keputusan sendiri.
Perkenalan awal saya pada eksistensialisme tak sengaja. Waktu kuliah saya ikut lomba menulis. Diadakan oleh sebuah media (koran) terbesar di Jawa Tengah. Sebelum pengumuman, saya dikontak oleh salah satu Dewan Juri “Bro, kamu juara satu ini?” katanya.
“Eh, kalau juara dua saja bisa nggak?” kata saya. Sang juri kaget. Lalu saya jelaskan. Hadiah lomba waktu itu juara 1 liburan ke Bali. Sedang juara kedua dapat HP yang lumayan canggih, bisa untuk kamera dan mengetik (menulis). Saya pikir, kalau dapat HP ini asyik juga untuk berkarya. Akhirnya, jadilah saya dapat juara dua plus dikenalkan dengan buku “Sketsa Hidup Penulis-Penulis Besar Dunia”.
Nah di situ, saya baca dan kenal Iwan Simatupang, seorang eksistensialis sekaligus “Si Manusia Hotel”. Sastrawan nyentrik ini, entah apa sebabnya memilih hidup di hotel dalam proses kreatifnya. Hidup dan tinggal di Hotel Salak Bogor selama 9 tahun. Sampai, karena tak sanggup bayar hotel lagi, ke luar, hidup menderita sebentar dan mati di usia 42 tahun. Setelah saya baca secuil kisah hidupnya, saya kemudian baca karya-karyanya yang sangat absurd. Konon, hidup dan karyanya, cerminkan seorang “Eksistensialis”.
Kawan satu-satunya yang mau mendengarnya hanya H.B Jassin (Si Paus Sastra), dia memanggilnya Hans. Tengah malam, dalam kondisi lapar. Dari kamar No. 52 Hotel Salak, dia menulis surat kepada kawannya itu.
“Aku banyak sekali mengalami kegetiran akhir-akhir ini Hans. Dan, hanya dengan terbitnya novel-novelku inilah yang memberi kompensasi kepada frustrasi-frustrasiku. Bahkan, kegetiran yang bagaimanapun aku tak gentar menghadapinya, bila saja karya-karyaku terbit”
Di lain kesempatan dirinya curhat
“Mengapa terasa begini menyesakkan dada kesulitan yang kita alami, Hans? Cari uang susah, memelihara hubungan pribadi baik dengan kenalan atau kawan semakin sulit, sedangkan langit terlalu biru dan cerah sekali, serta aspal jalan-jalan kering sekali.”
Suatu ketika dia kesal
“Hans, aku repot juga dibikin Zaini (Mega Bookstore). Mula-mula dia bilang novelku ‘Merahnya Merah” bakal terbit sebulan lagi. Tahu-tahu dia putar lidah lagi: Kagak Bisa! Apa boleh buat aku mengalah. Gara-gara tingkah Zain ini, aku terangsang untuk menjadi penerbit!”
Itu surat geramnya. Memang kemudian novelnya “Merahnya Merah” selesai ditulis 1961, terbit tahun 1968. “Ziarah” selesai ditulis 1960, terbit tahun 1969, “Kering” selesai tahun 1961, terbit tahun 1972, “Kooong” selesai 1968 diterbitkan tahun 1975. Memang, Iwan Simatupang bukan penulis produktif, tepatnya dia seorang perenung. Tapi berkat keseriusan dan totalitasnya pada sastra, dirinya kemudian dikenal sebagai “Pembaharu Sastra Indonesia”.
Dari situ, saya kemudian mencoba memahami dan kemudian pelan-pelan menjadi pengkhayat eksistensialisme. Saya mulai mengenal sosok-sosok lain yang lebih “Gila”. Seperti Heidegger dengan “Manusia Eksistensinya”, Marcel dengan “Manusia Problematiknya”, Albert Kamus dengan “Manusia Pemberontaknya” sampai Sartre dengan “Manusia Bebas Totalnya”. Memang, dalam eksistensialisme ini ada unsur arogansi dan kesombongan, di mana fokus sentral eksistensialisme adalah manusia. Lebih khusus individu (perorangan) yang mendewakan otoritas atau kebebasannya sendiri.
Kalau memandang corak hidup demikian, bisa dijelaskan secara ringkas begini. Premis umum dari eksistensialisme adalah eksistensi mendahului esensi. Dengan kata lain, selalu premis eksistensialisme adalah kebebasan untuk membuat kehidupan dirinya sesuai dengan ia inginkan. Premis ini menjadi dasar bersama bagi para eksistensialis.
Jelas, memang kemudian Tuhan menjadi tidak berguna. Tak diperhitungkan karena fokusnya memang pada manusia. Ia menolak Tuhan demi kebebasan manusia. Maka corak eksitensialisme adalah eksistensialisme ateistik. Model-model eksistensialisme ala Sartre, Camus atau Nietzsche awalnya berkembang di Prancis dan Amerika. Sementara, di Indonesia pelan-pelan kemudian juga banyak digandrungi.
Tapi, sebagai muslim, tentu saya tak kunyah mentah-mentah perkara eksistensialisme ini gaes.
Saya kemudian “berkenalan” dengan penyair Muhamamad Iqbal.
Sosok ini, konon memang tak secara khusus bicara eksistensialisme. Tapi corak karyanya memperlihatkan hal itu. Selain itu, pernyataanya soal “Filsafat dan Puisi” menarik perhatian. Ungkapan “Filsafat menuakan seseorang, puisi membuatnya muda kembali” tentu menarik. Katanya lagi “Filsafat adalah abstraksionisme yang menggigil dalam akal manusia” dan penyair datang menghangatkan mereka dalam objektivitas. Lewat Iqbal, saya mengenal apa yang disebut “Eksistensialisme Teistik”
Manusia tetap bertahan dengan martabat pribadinya. MengakuiNya, tidak berarti manusia tersergap ke dalam Tuhan dan menjadi tiada. Justru, manusia menjadi aktif, dinamis dan kreatif dengan “menyerap” dimensi keTuhanan ke dalam dirinya. Sementara, dirinya tetap hidup secara bermartabat, bahkan dengan keadaan semacam itu, dia bisa menjadi semacam “Wakil Tuhan”.
Sementara, bagi Iqbal, agama adalah penemuan di mana iman sebagai tahap awal keberagamaan. Fasenya, dimulai dengan iman (faith), dilanjutkan dengan pemikiran (Tought) dan berujung pada penemuan (discovery). Ketiganya tidak terpisah tapi saling mendukung satu sama lain. Iman yang berhenti begitu saja, tanpa rasionalitas, tidak bakal sampai kepada “Penemuan atau pencerahan”. Eksistensialisme teistik Iqbal ini, dengan demikian menyelamatkan kebebasan manusia, tanpa kehilangan iman. Sungguh menarik bukan? []
(Yons Achmad. Kolumnis, tinggal di Depok)