Sebagai seorang muslim, sejak SMA saya punya kegelisahan tentang corak keberIslaman seperti apa yang sekiranya pas. Maka, pencarian itu pun berlangsung terus menerus. Mulai dari nyantri di pondok NU yang ajarkan rileks dan santai dalam beragama, ikut Jamaah Tabligh yang ajarkan fokus akhirat tak boleh terlalu kejar dunia, ikut Pelajar Islam Indonesia (PII) yang ajarkan militansi, pembelaan dan perlawanan ketika ada doktrin Islam tak sesuai kondisi ideal, ikut gerakan KAMMI dan Tarbiyah yang ajarkan untuk terlibat aktif dalam urusan politik dan kekuasaan. Itu pergolakan pemikiran dan pergerakan yang sempat saja jalani dari sekolah sampai kuliah.
Pasca kampus, saya jalani kehidupan perkotaan. Hidup di Jakarta, mulai bekerja dan mendapat penghasilan. Tapi, pencarian keberagamaan itu belum usai. Saya merasa ada kehampaan. Maka, saya kemudian aktif mengikuti kajian-kajian sufisme di Universitas Paramadina di bawah asuhan, salah satunya Pengkaji sufisme dan Presiden Direktur Group Mizan (Haidar Bagir). Hanya saja, saya belum menemukan esensi sufisme di situ, di mana masih cenderung sebagai gerakan pemikiran dan kajian, bukan sebagai laku hidup.
Lalu saya tertarik dengan Syiah. Lewat “Islamic Cultural Center”. Pusat Studi Kebudayaan Islam yang digunakan sebagai cover syiah. Dengan slogan “Ketika Kebijakan bertemu Ilmu Pengetahuan”. Ikhtiarnya, menjadi lembaga kebudayaan Islam yang lahir dari semangat persatuan antar mazhab dan keragaman budaya dalam Islam. Selain itu, saya juga sekian bulan rutin nongkrong di Komunitas Salihara eks Utan Kayu.
Di sini saya coba akrabi bagaimana Islam liberal dijalankan. Lagi-lagi saya belum menemukan bagaimana keduanya: Syiah dan Islam liberal belum mampu mentransformasikan doktrin-doktrinnya dalam kehidupan keseharian. Bahkan lebih banyak mendapatkan penolakkan. Kini gerak Syiah masih berjalan dengan penggemarnya, sementara “Islam Liberal” sepertinya menyerah dan menyusup ke “Islam Nusantara” sekarang ini.
Kemudian, saya masuk ke lingkaran kajian Salafi perkotaan, komunitas “Hijrah”. Menarik, rata-rata aktivisnya bekerja sebagai pebisnis. Hanya, seperti dugaan. Beragama menjadi begitu kaku, sering mendapat pilihan hitam putih, kurang luwes. Hidup terasa mempersulit diri sendiri dengan doktrin Islam yang seharusnya, saya merasa tidak semacam itu. Saya ragu, Islam sepertinya bukan bercorak semacam ini.
Di lain kesempatan, kami berdialog dengan seorang kawan. Sampai pada kesimpulan, satu problem dasar umat Islam ini di perekonomian. Di situ kemudian saya tertarik dunia Filantropi, terutama soal wakaf. Bersama seorang kawan dokter kami mendirikan Eduwakaf. Saya ikut sertifikasi Nazir wakaf dari Badan Wakaf Indonesia (BWI). Saya tidak menyesal ikut pelatihan dan sertifikasi yang waktunya beberapa hari itu. Wakaf, sepertinya memang jawaban problem perekonomian. Sangat potensial dijalankan untuk pembangunan (peradaban) keumatan.
Lalu, saya menjalani laku hidup yang filosofis. Layaknya para filsuf. Saya menjalani kehidupan layaknya para “eksistensialis”. Hidup dengan dunia yang kita ciptakan sendiri. Menarik diri dengan dunia luar. Menjalani kehidupan dalam kesunyian. Saya menikmatinya. Hanya, memang ada satu kekurangan, capaian-capaian kolektif tak begitu mendapat prioritas. Padahal rumus hidup, kalau hal-hal besar ingin dicapai, syaratnya memang harus “Berjamaah”. Selain ormas, di Indonesia ini, “jamaah” yang paling “powerfull” memang dalam bentuk partai politik. Suka atau tidak suka, begitulah adanya. Partai politik, tiba-tiba menjadi sesuatu yang menarik untuk dihidupi, bukan mencari penghidupan di sana. Peran dan kontribusi bisa dihadirkan lewat sana.
Sampai, pencarian pada titik bagaimana yang terpenting hidup senantiasa dalam lingkaran kenabian (profetik). Rupanya, corak demikian bagi saya cukup relevan. Hidup, seperti dalam surat Ali-Imran ayat 110. Satu hal yang terpenting tetap dalam kerangka “ajak kebaikan” (Amar Ma’ruf), “Cegah kemungkaran” (Nahi Munkar) dan selalu senantiasa hidup dengan landasan iman (Tu’minuna billah). Itu kerangka hidup, wadahnya biasa lewat organisasi, perkumpulan bahkan partai apa saja.
Satu hal yang pasti, saya sudah tinggalkan corak Islam yang ekstrem, penuh amarah, frontal. Mencoba untuk lebih moderat dan luwes dalam menjalani hidup. Kenapa? Ya karena Islam di dunia ini hadir bukan karena Islamnya, tapi ditampilkan dalam corak keberIslaman pada penganutnya, umatnya. Corak Islam berkenabian (profetik) yang kini saya praktikkan, mencoba menjadi relevan setiap perkembangan zaman. Tetap tegas pada doktrin Islam, tapi luwes dalam pergaulan. []
(Yons Achmad. Kolumnis, tinggal di Depok).