Jalan Senyap Pak Ripto

Alkisah, dimulai dari 1992. Sebuah kisah memilukan dialami umat muslim Bosnia. Konon, tak kurang setidaknya 1,5 juta Muslim Bosnia kehilangan tempat tinggal, 200 ribu orang dibantai dengan keji, dan 800 ribu lainnya hilang tanpa kejelasan. Solidaritas dunia Islam terpanggil. Termasuk di Indonesia, pegiat-pegiat filantropi dan kemanusian sering gelar kampanye pembelaan terhadap muslim Bosnia, terutama yang paling sering, dari masjid ke masjid.

Indonesia, tak tinggal diam. Misi rahasia pun dijalankan. Salah satu tokoh pentingnya, beberapa tahun kemudian, baru terungkap. Tak lain tak bukan, nama Soeripto kerap disebut. Beliaulah yang memimpin semacam covert operation. Sebuah operasi rahasia, solidaritas terhadap negara muslim. Sebuah kiprah intelijen yang bergerak dalam senyap, lakukan operasi penyelundupan senjata ke Bosnia.

Seorang politikus dan pengusaha era Soeharto membantu semacam “Logistik” dan berbagai macam kebutuhan lain agar misi itu bisa terwujud. Konon, namanya, Probosutedjo. Tak lain tak bukan, adik Soeharto sendiri. Diawali dengan pertemuan diplomatik. Secara jelas, komunitas muslim Bosnia tak sedang membutuhkan bantuan pangan atau pakaian. Tapi senjata.

“Untuk saat ini, kami tak membutuhkan bantuan makanan, pangan atau dana. Itu hanya membuat gemuk dan lalu dibantai oleh Serbia” kata perwakilan pemimpin Bosnia

“Secara jelas dan gamblang, mereka secara lisan, tegas meminta bantuan senjata,” kenang Soeripto

“Bagaimana, bisa? Kira-kira begitu kata Probosutedjo

Suripto mengaku tak punya dalih apapun untuk menolak.

“Sanggup,” kata Soeripto

“Kekejian itulah yang kemudian menegaskan, yang paling diperlukan warga Bosnia adalah membela diri, dan itu hak manusia paling asasi,” lanjut Soeripto.

Maka. Dalam senyap, misi pun dijalankan.

Soeripto berpikir keras, bagaimana misi ini berhasil. Ia mengontak kawan. Salah satunya, Ustaz Hilmi Aminudin (Tokoh spiritual PKS). Sosok ini yang menghubungkannya dengan jaringan Mujahidin, tokoh-tokoh yang pernah terlibat dalam perang di Afganistan. Dari jejaring itu, terhubung dengan broker senjata Kroasia.

Maka, Ustaz Hilmi antarkannya ke Zagreb, ibu kota Kroasia untuk dapatkan senjata sekaligus aminusi. Di saat yang sama, ada tokoh bernama Adi Sasono yang menjalankan “Diplomasi Formal” antar negara yang kemudian berhasil salurkan makanan, sandang dan obat-obatan. Singkat cerita, dari pertemuan di Kroasia itu didapatkannya senjata AK, M-16, banyak granat dan segala pernak-pernik senjata lainnya. Masalah berikutnya, bagaimana membawanya agar sampai Bosnia?

Tak mau “Boncos”, Soeripto pun bikin kesepakatan-kesepatakan yang menarik. Diantaranya, dirinya harus ikut dalam operasi ini memastikan senjata sampai ke tangan pejuang Bosnia. Kemudian, pembayaran pembelian senjata hanya diberikan ketika senjata benar-benar sudah sampai. Operasi pengangkutan senjata itu, memakai cover mission bekerjasama dengan Bulan Sabit Merah, Mesir. Sudah bisa dipastikan, kalau operasi itu terbongkar dan diketahui oleh Serbia, risikonya jelas, “Mati”. Sementara, kalau diketahui pos-pos keamanan PBB. Risikonya, dirinya bakal dikenal sebagai penjahat perang di saat embargo senjata dikenakan. Dirinya baru merasa plong ketika senjata itu benar-benar telah sampai dan dirinya selamat kembali ke tanah air. Tentu, setelah mengalami beragam ketegangan di lapangan

Sekian tahun kemudian, Soeharto berkunjung ke Bosnia. Tepatnya, pada 11 Maret 1995. Soeharto kala itu tanpa mengenakan ropi dan helm anti peluru. Bahkan tanpa pengamanan apapun. Sebuah pemimpin yang kemudian dikenang peduli dan punya nyali pada komunitas muslim dunia. Soeharto ditemani oleh Menteri Moerdiono waktu itu.

Presiden Bosnia Alija Izetbegovic, saat bertemu Soeharto bilang

“Paduka, memang bantuan senjata semacam ini yang kami perlukan, bukan sekadar makanan dan obat-obatan”

Saat mendengarnya, Moerdiono kaget dan berbisik. Memakai bahasa Jawa yang kira-kira artinya

“Pak, kapan kita pernah bantu dan kirim senjata”?

Pak Harto hanya tersenyum dan bilang

“Wis, kowe menengo wae” (sudah kamu diam saja)

Begitulah kisah keberhasikan pengiriman senjata Ke Bosnia waktu itu, dengan Soeripto sebagai sosok penting yang terlibat di dalamnya. Saking rahasianya, Moerdiono, orang terdekat Soeharto saja tak mengetahuinya. Tepatnya, tak diberi tahu.

Sekarang bayangkan, dengan kisah pejuang Hamas? Dari mana mereka bisa bertahan melawan Israel sejauh ini dengan beragam senjata di tangan? Nama Soeripto, tentu tak boleh dipandang sebelah mata. Tapi, kita biarkan saja cerita mengalir. Sejarah dan kejujuran akan mengungkapnya kelak.

Pak Ripto kini sudah kembali ke padaNya. Selamat jalan Pak Ripto. Dunia mengenang kontribusi terbaikmu.

(Yons Achmad. Kolumnis, tinggal di Depok)

About the Author

Yons Achmad

Penulis | Pembicara | Pencerita

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You may also like these