Kesepian yang Mengkhawatirkan

Sebuah berita di Kompas mengusik saya. Judulnya “Kesepian Mengintai Mahasiswa” (3/11/2025). Diawali dengan kisah Una, seorang mahasiswi jurusan Psikologi yang merasa berjuang sendiri saat skripsi. Teman-temannya sibuk, dosen pembimbingnya sibuk juga urus keluarganya yang sakit. Orang tua tuntut lulus 3,5 tahun. Ia merasa sendirian, kesepian, juga merasa ada yang salah karena tak punya pasangan, muncul pikiran buruk. Mengakhiri hidup.

Merujuk data, hasil jajak pendapat Litbang Kompas 16-19 Juni 2025 terhadap 512 responden menunjukkan, sekitar 1 dari 5 orang di Indonesia (19,97 persen) mengaku kesepian setidaknya sekali dalam sepekan. Sepertiga dari jumlah itu bahkan kesepian hampir setiap hari.

Temuan ini sejalan dengan laporan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yang dirilis Juni 2025 ”From Loneliness to Social Connection”. Laporan itu menyebutkan, prevalensi kesepian di Asia Tenggara periode 2014-2023 mencapai 18,3 persen. Angka itu didominasi remaja usia 13–17 tahun, mencapai 20,9 persen, tertinggi dibandingkan kelompok dewasa (30-59 tahun) sebesar 15,1 persen dan orang lansia (di atas 60 tahun) sebesar 11,8 persen.

Dari sini, saya tertarik mengulik perkara kesepian ini.

Saya jadi teringat saat mahasiswa, kesepian juga pernah melanda. Satu-satunya yang memotivasi untuk jadi sarjana hanya ibu saya. Kabar kurang bagusnya, ibu saya meninggal karena kanker. Sejak itu, kuliah dan skripsi apalagi jadi sarjana bukan impian lagi. Kenapa? Karena satu satunya yang bikin semangat adalah membahagiakan ibu saya dengan setidaknya mengawalinya jadi sarjana. Dari situ, hidup terasa begitu hampa. Saya mengurung diri sekian lama.

Internet menjadi pelarian. Saya lalu membuat semacam “Mailing List” (Milis) dengan nama “Sekte Hati Beku” kumpulan orang-orang kesepian. Saya sebagai admin dengan memakai nama “Maria Magdalena”. Di ruang itu kami kerap berbagi kisah. Satu topik yang paling hangat tentang alienasi (keterasingan). Dalam psikologi sering dimaknai sebagai terputusnya hubungan seseorang dari diri sendiri, orang lain, dan lingkungan sekitarnya. Istilah ini merujuk pada perasaan tidak menjadi bagian dari kelompok, kehilangan makna hidup, tidak memiliki kekuatan, hingga merasa tidak memiliki identitas diri. Di situ kami saling menguatkan.

Pada suatu waktu, saya kemudian berani membuka identitas asli. Saya ngaku seorang laki-laki, bukan seorang perempuan. Banyak yang marah. Tapi, ada juga yang menerima semacam “Kejujuran” demikian. Salah satunya, sebut saja Inga, ia lulusan Desain Komunikasi Visual (DKV) Universitas Pelita Harapan (UPH) Jakarta yang lanjut kuliah S2 Sastra di UGM Jogjakarta, seorang warga Indonesia keturunan China. Dia lalu ajak ketemuan, saya iyakan.

Saya datang ke rumahnya di bilangan Pasar Minggu. Awalnya agak canggung, lama-lama agak terbiasa. Bosan, dia ajak nonton bioskop. Okey. Ia ajak ke luar menuju garasi mobil. Menyerahkan kunci. Konyolnya saya belum bisa nyetir mobil. Akhirnya dia yang bawa. Kami menonton film. Saya ingat betul judulnya “Inglourious Basterds”, film satir tentara Yahudi yang bantai Nazi Jerman, padahal aslinya Yahudi yang dibantai abis dalam sejarah. Film penuh adegan kekerasan yang vulgar penuh simbah darah. Film yang salah.

Setelahnya, kami ngopi-ngopi cantik di Pejaten Village. Di situ, sama-sama “orang Kesepian” kami merancang karya bersama, sebuah novel berjudul “Aliena”. Merujuk pada nama yang sering dikisahkan oleh pengarang Seno Gumira Ajidarma dalam novel-novelnya. Aslinya, judul itu merujuk pada alienasi atau keterasingan. Rancangan ceritanya, berkisah tentang orang-orang yang berhasil ke luar dari keterasingan. Kisah yang mungkin agak serupa dengan Novel Kuntowijoyo berjudul “Kotbah Di Atas Bukit”.

Sayang, novel itu tak selesai. Dia nomor tak aktif. SMS juga tak dibalasnya. Sampai suatu ketika dia kirim email mau pergi ke New Zealand, melanjutkan studi S3-nya. Ia sempat menanyakan alamat kantor saat saya masih bekerja di bilangan Duren Tiga Raya, Jakarta Selatan. Sekian hari kemudian, datang paket berisi hampir seratus buku. Isinya buku-buku filsafat, sosiologi dan sastra. “Ini buku-buku untukmu buat bacaan ringan, agar kamu nggak kesepian he he”. Lalu, dia menghilang sampai sekarang.

Kalau ingat itu, kemudian, kalau ada siapapun, terutama anak-anak yang jauh di bawah saya usianya, Ketika mereka mengeluh, merasa tertekan, merasa sendirian, merasa kesepian, saya lumayan mau mendengarkan. Selebihnya, tidak menggurui. Tapi mencoba berikan alternatif-alternatif jalan kehidupan. Biar mereka memilih sendiri. Sementara, saya sendiri, setelah punya banyak anak, lumayan jarang lagi kesepian. Ya, hidup memang penuh dinamika, banyak masalah. Tapi sejauh ini lumayan menyenangkan. []

(Yons Achmad. Kolumnis, tinggal di Depok)

About the Author

Yons Achmad

Penulis | Pembicara | Pencerita

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You may also like these