Saat ini, kunci untuk bisa bertahan adalah kemandirian. Kenapa? Banyak orang sudah berkutat dengan masalahnya masing-masing. Bahkan, ketika misalnya kita melihat orang yang dipandang berhasil (sukses) sekalipun, problematikanya terkadang begitu besar juga. Maka, satu-satunya kunci untuk bisa bertahan adalah andalkan kemandirian. Selanjutnya, untuk bisa berkolaborasi dengan orang lain, hadirkan solusi, bukan datang dengan masalah baru.
Itu satu kesimpulan obrolan dengan seorang komisaris BUMN pada sebuah mall di bilangan Jakarta Selatan. Saya diundang, tentu dengan senang hati saya datang. Dari awal, saya sudah siap dengan beragam solusi yang sekiranya bisa membantu menuntaskan beragam persoalan dan segenap problematika yang muncul. Hasilnya, tentu acara ngopi-ngopi itu membawa kabar baik yang cukup berarti. Menguntungkan kedua belah pihak.
Akhir-akhir ini, saya memang fokus pada solusi-solusi terbaik, bukan fokus pada masalahnya. Termasuk, ketika menghadapi Indonesia dengan kondisi fakta yang kurang baik sekalipun. Saya selalu berusaha, mencari celah kebaikan yang masih tersisa, keunggulan yang masih ada, kekuatan yang masih tersimpan. Berangkat dari situ, mencoba untuk mencari jalan ke luar yang paling memungkinkan. Setelah disimulasi dengan beragam alternatif jalan ke luar yang ada.
Beberapa hal di atas, tak hanya berlaku bagi peningkatan karier dan bisnis. Tapi, juga dalam persoalan kepribadian. Saya sendiri, di tengah kehidupan yang sangat kompetitif ini (saya menghindari penggunaan istilah kondisi ekonomi sulit) mencoba untuk lebih mengenali diri.
Termasuk, menghindarkan diri dari jebatan apa yang disebut “Mentality Playing Victim”. Konon, sebuah sikap seseorang yang suka menjadikan dirinya sebagai “korban”, dan cenderung selalu menyalahkan pihak lain jika terjadi masalah. Misalnya jika nasib dirinya stuck, maka akan cenderung menyalahkan keadaan, dan merasa dirinya adalah korban yang tak berdaya.
Dalam sebuah keadaan, ketika misalnya ada seseorang yang bisa masuk dan moncer pada sebuah perusahaan, sering bilang “Ah dia kan punya orang dalam”. Atau, ketika melihat ada anak muda yang berhasil bahkan belum genap 30 tahun usianya, bilang “Wajar karena dia menikmati privilege orang tuanya”. Mau buka bisnis tapi tidak jalan, beralasan “Saya bukan orang berduit yang punya banyak modal”.
Itu bukan kata-kata orang lain. Tapi, saya sendiri dulu sempat berpandangan begitu. Kalau ada orang lain yang masih punya pandangan begitu, kayaknya pelan-pelan memang perlu diubah. Sekarang, saya kira kuncinya memang kemandirian, nggak mau mandiri, bakal mati. Dalam arti, kalau hanya menunggu dan bergantung pada orang lain. Termasuk pemerintah, pelan-pelan hanya membuat kita mati membusuk.
Ini sebenarnya refleksi pribadi saya. Memang kemudian saya publikasikan untuk khalayak ramai. Tapi sebenarnya, tujuan saya menuliskannya, untuk mengingatkan diri saja. Berani “Write Your Own Storyline”. Berani menuliskan kisah sendiri. Selanjutnya, fokus pada ‘Self Improvement”, pengembangan diri pribadi. Harusnya memang hal-hal begini sudah selesai. Tapi, apa boleh buat, masih tetap saya resapi sampai kini.
Langkah konkritnya, memang klasik, tapi ya itu kuncinya, tentu yang paling utama update terus ilmu pengetahuan, update terus skill. Dengan begitu, bisa punya posisi tawar tersendiri di hadapan khalayak. Sambil, terus menerus melakukan “personal branding” secara lebih tertata. Kemandirian semacam itu yang saya kira bisa menolong kita.
Alih-alih kita (mohon maaf), mengemis-ngemis proyek, harapannya orang, lembaga, perusahaan, bahkan pemerintah mencari kita, bukan kita yang sibuk mencari-cari. Kenapa? Karena kita dipandang sebagai sosok yang bisa diandalkan dan bisa berikan gebrakan solusi-solusi, bukan orang lain. Begitulah, sedikit siasat hidup yang bisa kita jalankan. []
(Yons Achmad. Kolumnis, tinggal di Depok)