Soeharto Bagi Kaum Milenial, Pahlawankah?

Layakkah Pak Harto jadi Pahlawan? Bagi kami kaum milenial, tak begitu penting. Jadi pahlawan ya silakan, tak jadi pahlawan ya tak masalah. Kenapa? Kami tak punya banyak kenangan “traumatis” terhadap Soeharto. Saat Soeharto berkuasa, kaum milenial masih sekolah. Rasa-rasanya, keadaan baik-baik saja. Boleh dibilang, bisa jadi masa sekolah dari SMP-SMA anak-anak milenial itu paling bahagia hidupnya.

Beda dengan misalnya mereka yang sering mengaku angkatan 98. Saat Soeharto berkuasa, mereka sudah menjadi aktivis. Konon, sangat begitu “traumatis” dengan Soeharto yang dinilai represif, penuh kekerasan fisik maupun politik, tak pernah mentolelir suara yang berseberangan dengan istana, nekat melakukannya, nyawa taruhannya. Bagi kaum milenial, kami tak merasakan langsung, hanya mendengar kisah-kisah semacam itu dari senior-senior yang mengaku dirinya angkatan 98 itu.

Gambarannya, ingatan melayang. Sekira era pemerintahan Megawati, saat anak-anak milenial kuliah. Mereka saya kira hidupnya baik-baik saja, happy-happy saja. Termasuk, kami yang anak FISIP. Memang, ada sedikit kecenderungan. Anak-anak “Sosiologi”, mereka serius belajar teori-teori perubahan sosial, anak-anak “Administrasi Negara” juga sibuk bagaimana bisa jadikan pengelolaan negara menjadi Good Governance”, anak-anak “Politik” masih lumayan sibuk belajar teori-teori demokrasi.

Sementara saya dan beberapa kawan di jurusan “Komunikasi”, tak pernah banyak belajar teori, lebih banyak praktik semisal menulis, public speaking, fotografi, radio, film dan seterusnya. Pelajaran-pelajaran yang menyenangkan. Kuliah jadi terasa menyenangkan, tanpa beban. Terasa banyak waktu luang, yang kami isi dengan hobi ngeband, nyanyi-nyanyi, jalan-jalan, nonton bioskop. Sampai di sini, kehidupan kami baik-baik saja.

Masuk era pasca kampus, era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Kehidupan anak-anak milenial juga sepertinya asyik-asyik saja. Pekerjaan masih gampang, perekonomian cukup stabil, huru-hara jarang terjadi, situasi politik aman terkendali. Anak-anak milenial, menikmati kehidupan jomlo dan kemudian beberapa punya anak-anak yang mulai tumbuh dengan kehidupan yang asyik dan nyaman-nyaman saja.

Lalu datanglah era pemerintahan Jokowi (2014-2024). Mungkin inilah era terburuk yang dialami oleh kaum milenial. Era di mana Indonesia mendapatkan pemimpin yang jauh dari kapasitas, pemerintahan dijalankan secara “ngawur-ngawuran”, perekonomian terasa susah, politik tak stabil, kekerasan politik, penangkapan-penangkapan orang yang berseberangan dengan istana dilakukan semena-mena tanpa pengadilan, ormas-ormas dengan begitu saja dibubarkan. Anak-anak milenial, saya kira banyak yang “traumatis” di era pemerintahan Jokowi ini. Era di mana, mereka yang mengaku angkatan 98 itu justru banyak menikmati era pemerintahan “Sontoloyo” ini.

Kini, pesta kebobrokan itu sudah usai. Era berganti, pemerintahan Prabowo datang. Hidup mungkin masih terasa sulit. Tapi, anak-anak milenial sudah lumayan mulai bisa berdaptasi dan bisa menata kehidupan kembali. Kehidupan menjadi kembali menyenangkan, walau tak pernah tahu bagaimana kelanjutan pemerintahan ini seterusnya. Satu hal yang pasti, anak-anak milenial juga cukup banyak punya peran, entah di dalam pemerintahan, entah di luar pemerintahan.

Kini, Prabowo mau berikan penghargaan Pak Harto sebagai pahlawan. Apa yang kemudian terjadi?

Senior-senior 98 kembali bersuara, melakukan penolakannya. Mereka ini banyak diantaranya, orang-orang yang bercokol, menikmati kekuasaan era Jokowi yang sepertinya tak lebih baik dari Soeharto, bahkan mungkin lebih buruk dari Soeharto. Ini bukan lagi soal apakah Soeharto itu layak dijadikan pahlawan atau tidak. Tapi soal, siapa yang ngomong. Bagaimana mungkin bisa dengan gagah menolak Soeharto sebagai pahlawan, sementara mereka dulunya asyik-asyik saja menikmati remah-remah kekuasaan era Jokowi yang kejahatanya bisa jadi lebih kejam dibanding era Orde Baru (Soeharto). Sungguh memalukan.

Kini, Prabowo berkuasa, sangat mungkin Pak Harto benar-benar dijadikan Pahlawan. Tapi, kalau ditanya, apakah tepat? Saya kira belum. Nanti saja. Biarkan, untuk sementara Soeharto menjadi gambaran bagaimana era Orde Baru, tak patut dicontoh. Kepahlawanan Soeharto, belum pas dijadikan referensi untuk sekarang ini. Ditunda saja. Agar bangsa ini, lebih banyak belajar sejarah dan tak mengulangi kesalahan-kesalahan yang pernah terjadi. []

(Yons Achmad. Kolumnis, tinggal di Depok)

About the Author

Yons Achmad

Penulis | Pembicara | Pencerita

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You may also like these