Lingkar yang Menyelamatkan

Seorang kawan . Dia anak STM. Sekolahnya terkenal muridnya tukang tawuran. Tapi, dia terselamatkan oleh lingkar pondok ketika dulu kita sama-sama pernah “Nginep bareng” semasa umur belasan tahun walau sekolah kami beda. Lulus STM dia “Ngilang”. Tiba-tiba dia berkabar. Sudah menyandang gelar “Lc” dari Universitas Al-Azhar, Mesir. Wuih, tak menyangka sebelumnya. Kini, dia memimpin salah satu pondok pesantren di pinggiran Jogjakarta. Tentu sebuah kabar yang menyenangkan.

Seorang kawan lain. Kami bernostalgia. Kali ini kawan SD. Saya waktu itu di Sekolah Kanisius, sekolah Katholik, dia sekolah di SD Negeri biasa. Tapi, kita sama-sama mengenang bagaimana kami pernah “Diseblak” pakai lipatan sarung oleh “Pak Slamet” yang selalu ngingetin kita untuk nggak brisik dan segera shalat karena Iqomat sudah berkumandang. Kala itu, kita sama-sama di TPA (Taman Pendidikan Alquran). Dia, kini pengusaha, punya pabrik roti di kampung. Tiap mau berbuat tak baik, dia cerita jadi diurungkannya. “Minimal awake dewe pernah dadi santri, santri TPA ha ha,” katanya berkelakar. Kali ini, lingkar TPA menyelamatkan hidupnya.

Sekarang kawan SMP. Yang ini cukup misterius, lingkar dunia sufistik. Dia punya seorang guru “Sufi”. Maka, tak hanya pemikirannya saja yang sufistik, tapi lakunya juga. Dia, kini punya semacam “Padepokan” tempat banyak orang “Ngaji Roso”. Tempat banyak orang berkeluh kesah. Dan dirinya kini menjadi semacam “Guru Spiritual” yang berikan manfaat bagi banyak orang. Orang-orang datang semua bawa masalah. Ketika pulang, mungkin masalah masih tetap ada. Tapi, mereka mengaku lebih tenang dalam hadapi masalah karena sudah menemukan solusinya.

Kawan lain, kali ini kawan kuliah. Anak orang yang lumayan tajir. Saat kuliah sudah bawa mobil pribadi. Pergaulan cukup liar dan bebas. Mengaku, segala bentuk kenakalan sejak muda pernah diperbuatnya. Kini, dirinya menjadi salah satu “Petinggi” pada lembaga pemerintah non kementerian. Dia merasa sudah bosan dengan semuanya itu. Sampai suatu ketika, seorang penceramah kajian perkantoran berhasil menyentil hatinya. Kini, dia berjenggot lebat, ikut kajian “Hijrah”. Lagi-lagi lingkar ini membawa perubahan bagi kehidupan.

Kisah berikutnya, kawan lain. Seorang pengusaha yang cukup berhasil dipandangan orang lain. Dirinya mengaku dulu biasa lakukan praktik suap menyuap, main proyek di pemerintahan. Punya banyak uang. Tapi, entah bagaimana, anak dan istrinya plus keluarganya sakit. Uang yang dia punya, beserta aset-asetnya ludes. Terjual semuanya. Suatu ketika, selepas subuh dirinya dengarkan penceramah. Dihayati betul. Kemudian memutuskan untuk bisnis yang bener, tak ngawur seperti dulu lagi. Kini, bisnisnya mungkin tak sebesar dulu, tapi istri, anak dan keluarganya sehat semua. Ia mengaku itu sudah cukup untuk mensyukuri hidup.

Saya merenungi kisah-kisah di atas. Sampai sebuah kesimpulan kecil, pada akhirnya “Lingkar Agama” yang menyelamatkan kita. Beruntung orang-orang punya “Circle” yang masih peduli pada soal “Keberagamaan”. Entah itu lingkaran sufistik, tarbiyah, kajian sunnah, kajian perkantoran, kajian “hijrah” ormas Islam dan seterusnya. Mereka-mereka ini, biasanya tetap “Ingat Allah” disaat hidup sesulit apapun. Keseimbangan hidup tetap terjaga. Ya, lingkar-lingkar yang menyelamatkan kehidupan. []

(Yons Achmad, kolumnis tinggal di Depok)

About the Author

Yons Achmad

Penulis | Pembicara | Pencerita

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You may also like these