Kawan seperjuangan, selalu hadir membela. Tak hanya melulu ada dalam dunia aktivis pergerakan, tapi juga dalam dunia sastra dan perbukuan. Kali ini, kita tengok secuil kisah kawan seperjuangan. Antara HB Jassin “Si Paus Sastra” dan Penyair Chairil Anwar “Si Binatang Jalang”.
Hubungan mereka tak selalu baik-baik saja. Layaknya dalam dunia berkesenian, termasuk sastra, ego tinggi, saling ejek, saling nyinyir, itu biasa. Tapi manusia ada kalanya marah juga. Konon, saat HB Jassin coba serius berlatih, jadi aktor teater, Chairil Anwar berkomentar enteng “Apa itu, kayak monyet”. Mereka nyaris baku hantam karena ejekan yang memang agak keterlaluan.
Bikin dirinya ogah berlatih lagi. HB Jassin kemudian dikenal bukan sebagai aktor atau penyair. Sebagai dokumentator karya sastra. Jelas, sebuah pilihan hidup yang tak sepenuhnya enak. hanya kemudian, dunia menjadi saksi bagaimana para sarjana, pecinta sastra mengambil begitu banyak manfaat dari hasil dokumentasinya. Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin Taman Ismail Marzuki saksi sejarahnya.
Kawan tetap kawan. Bahkan kemudian, hanya dirinya yang konon bisa menerima kehidupan dengan kesemrawutan, seenaknya saja, semau gue ala Chairil. Kehidupan kekacauan, termasuk semasa perang dijalaninya. Di dunia yang kacau itu, justru inspirasi datang. Dan semua tahu, di dalam kepalanya, hanya ada satu kata, Sastra.
Perkenalan awal. Pada suatu siang, tahun 1943, seorang pemuda kurus, bermata merah, dan berambut kusut memasuki kantor Balai Pustaka, tempat Jassin bekerja sejak 1 Februari 1940. “Nih, sajak saya,” kata Chairil dengan suara lantang, kepada Jassin, sambil menyerahkan 20 buah sajak. Jassin kaget dibuatnya. Tapi tetap tertarik membacanya.
Setelah kenal lumayan lama Jassin pernah menerima sebuah kartu pos dari Chairil “Kau tentu tahu ini, aku memasuki kesenian sepenuh hati…” Benar, terlepas keburukan apapun, Jassin pula, sosok yang melambungkan nama Chairil sehingga bisa kita kenal dengan kebesarannya sekarang ini. Kehebatan Chairil, tak lepas dari legitimasi HB Jassin, redaktur Balai Pustaka waktu itu. Jassin pula yang mengetik puisi tulisan tangan Charil rangkap enam untuk dibaca kawan-kawan redaktur sastra lainnya.
Tentang karya Charil Anwar sendiri, salah satu puisinya yang berjudul Aku, (Aku ini binatang jalang/Dari kumpulannya terbuang) konon bisa dikatakan sebagai kredonya seorang penyair yang melakukan perlawanan terhadap penguasa sastra waktu itu yaitu angkatan Pujangga Baru.
Salah satu ciri khas sastrawan angkatan Pujangga Baru dalam menulis puisi adalah persajakan dijadikan sarana kepuitisan utama. Hal inilah yang hendak dilawan Chairil Anwar dengan membuat puisi bebas, tanpa terbebani rima dalam persajakannya.
Chairil kemudian memang dituduh plagiat. Kirim karya saduran. Banyak sastrawan yang marah. HB Jassin, di ruangan terbatas menjelaskan Chairil Anwar melakukan perbuatan yang memalukan itu karena “penyakitnya yang banyak makan ongkos dokter”. Kirim karya sendiri dapat honor, karya saduran tidak.
Sementara, di publik Jassin lontarkan pernyataan retoris:
“Apakah hukuman sejarah pada penyair Chairil Anwar yang diakui telah membarui kesusastraan Indonesia tapi di samping itu telah melakukan kesalahan plagiat? Apakah karena beberapa plagiat beberapa sajak, semua sajaknya yang asli pun harus dianggap tidak lagi bernilai? Dan apakah karena itu harus dicopot predikat pelopor Angkatan 45?”
Setelah agak mereda, Jassin berkata pelan “Kekhilafan haruslah dipisahkan dari nilai manusia sebagai keseluruhan. Dan ini buat saya tidak hanya berlaku bagi Chairil Anwar, tapi juga bagi orang lain.” Kawan seperjuangan, selalu hadirkan pembelaan. Sekali lagi, sebuah pilihan hidup yang kadang tak selalu enak. Tapi, kawan seperjuangan selalu mengerti keadaan.
(Yons Achmad. Kolumnis, tinggal di Depok)