Semua orang punya hak untuk dikenal. Kita ambil contoh Guru Gembul. Orang boleh setuju atau tak setuju ucapan-ucapan dalam setiap tayangan Youtubenya. Tapi, dirinya terus produksi video tanpa henti. Banyak orang yang jengah, tapi banyak pula yang ternyata menggemarinya. Guru Gembul, terus bicara apa saja, tema apa saja. Begitulah dunia digital kita sekarang. Semua ada peminatnya, semua ada pasarnya. Suka-suka saja.
Ada lagi dokter Tirta. Seorang dokter yang juga kerap tampil di podcast. Potongan-potongan podcastnya beredar luas di media sosial. Dikenal publik sering berikan edukasi-edukasi kesehatan. Banyak penggemarnya pula. Walau, ada yang bilang, dikalangan dokter sendiri, sosok dokter Tirta tidak “dianggap”. Alasannya, edukasi-edukasinya dangkal. Juga gaya bicaranya yang kurang mencerminkan gaya dokter pada umumnya. Dia sering lontarkan misalnya ucapan “baji**an”, “Gob**k”, sampai maaf “Ng***0t”. Lagi-lagi tak ada yang bisa menghentikannya. Dinilai sering viral pula. Maka, produksi konten terus berjalan.
Contoh lain, Gus Iqdam. Pengajian-pengajiannya digemari banyak orang, dikenal di wilayah Jawa Timur dan sebagian wilayah Jawa Tengah. Tapi, potongan-potongan videonya beredar luas di media sosial. Video-video yang lucu dan menghibur itu digemari banyak orang. Memang, ada kalangan yang bilang pengajian-pengajian Gus Iqdam “Nggak ada ilmunya”. Tapi, semua itu berlalu bersama angin. Sampai kini, potongan-potongan kajiannya terus beredar luas di masyarakat.
Bagi kalangan yang berlagak kritis dan merasa “well educated” sering katakan tayangan-tayangan demikian “Tak berdasar ilmu pengetahuan”, “tayangan sampah”, “tayangan tidak mendidik”. Lagi-lagi ruang digital sekarang ini begitu terbuka. Siapa saja boleh bicara. Meminjam istilah Tom Nichols, fenomena demikian dikenal sebagai era “The Death of Expertise” alias Matinya Kepakaran.
Dalam perspektif personal branding, pemandangan demikian memang menjadi sebuah tantangan.
Tapi begitulah. Setiap individu memiliki hak untuk dikenal. Sebuah hak untuk memperoleh pengakuan atas profesi, keahlian, dan kontribusinya. Dalam dunia yang semakin terhubung dan kompetitif, hak ini menjadi penting, bukan hanya untuk memperoleh kesempatan yang lebih luas, tetapi juga untuk menegaskan identitas profesional seseorang. Personal branding hadir sebagai alat sekaligus proses yang memungkinkan setiap individu membangun dan menampilkan citra terbaiknya kepada publik.
Jauh hari, menurut Tom Peters dalam artikelnya yang legendaris, “The Brand Called You” menegaskan bahwa setiap orang adalah “perusahaan” yang memiliki nilai unik dan harus dikelola layaknya sebuah merek. Konsep ini menekankan bahwa personal branding bukan hanya milik tokoh publik, melainkan hak dan kebutuhan semua orang, dari pekerja kreatif hingga profesional teknis. Dengan membangun merek pribadi, seseorang menegaskan eksistensinya dalam dunia kerja yang sering kali penuh persaingan.
Mencermati kondisi demikian, alih-alih kita sering kesal pada tayangan-tayangan yang mungkin kita kurang sukai, lebih baik memang berkaca pada diri. Ternyata, kita juga punya hak untuk dikenal. Setiap kita punya kompetensinya masing-masing, bukankah itu peluang? Harapannya, kita dikenal sehingga bisa memberikan semakin banyak kebermanfaatan kepada publik. Dengan begitu, sunatullah alias otomatis, kebermanfaatan juga bakal mengalir ke dalam diri kita. Itu rumus sederhana, bagaimana “Hak untuk dikenal” kita ejawantahkan bersama. Sudah serius dilakukan, Kawan? []
(Yons Achmad. Kolumnis, tinggal di Depok)