Hanya Ingin Tenang

Sore yang sibuk. Jam pulang kantor, semua terlihat buru-buru.

Brak. Kendaraan saya ditabrak. Saya tengok, tak masalah.

“Maaf Mas, Maaf, rem saya agak kurang pakem,”

Saya tak bilang apa-apa. Hanya senyum dan acungkan jempol. Urusan selesai.

Di lain waktu, saat ada sedikit rezeki, ajak anak-anak makan. Perasaan makan tak seberapa, tapi tagihan kok di luar perkiraan. Saya minta sang penjual hitung ulang. Dan benar, ada kesalahan hitung. Sang penjual minta maaf. Urusan selesai.

Ada lagi kejadian kecil

Anak-anak minta buah semangka.  Saya berburu buah. Kali ini tak ke pasar atau ke supermarket.  Tapi memilih pedagang yang sekiranya kurang laku. Saya pilih satu dan bawa pulang.

Sayang, saat dibuka di rumah, rupanya semangkanya busuk. Saya kembalikan ke penjualnya

“Maaf Mas, ini kita ganti buahnya”

“Nggak usah Bang”

Pikir saya, kalau diganti pasti dia jadi rugi. Yang penting dia sudah tahu kalau kualitas buah yang dijual kurang bagus. Harapan kelak, dia bisa hati-hati biar tak merugikan pembeli lain. Akhirnya, saya dan anak-anak beli buah semangka di abang-abang. Ternyata tidak mengurangi kebahagiaan mereka.

Begitulah. Saya hanya ingin hidup tenang saja. Tak terlalu mempersoalkan kejadian-kejadian yang sebenarnya bisa diselesaikan dengan baik-baik.

Tapi, sikap semacam ini, di ibu kota, terkadang menjadi bumerang. Sering menjadikan orang terus misalnya menindas kita. Saya berkali-kali mengalami. Sering “Dikerjain” orang. Tak masalah, suatu saat orang zalim pasti “kena batunya”. Kita tak perlu membalasnya.

Hidup di era tak menentu seperti sekarang, memang harus bisa jaga kesehatan mental. Saya sendiri memilih untuk tenang dan berusaha tenang. Setiap orang punya masalah masing-masing.  Ada masalah? Hadapi. Selesaikan satu persatu. Pasti selesai.

Saya memang kurang begitu suka keramaian. Tapi, tetap membuka diri. Media sosial terbuka, jadi orang bisa kirim pesan atau komentar apa saja. Memang sekarang, tidak lagi terlalu suka berisik mengomentari setiap kejadian. Tapi, tetap terus bekerja dalam senyap. Orang tak perlu tahu prosesnya, babak belur proses kita. Satu hal yang terpenting, karya-karya tetap hadir menyapa. Itu saja.

Yons Achmad. Kolumnis, tinggal di Depok.

About the Author

Yons Achmad

Penulis | Pembicara | Pencerita

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You may also like these