Harta, Tahta, Cinta

Saya dulu pembaca setia buku-buku Gede Prama. Salah satu yang pernah saya baca, buku berjudul “Percaya Cinta Percaya Keajaiban”. Di sana, dia pernah bercerita, suatu ketika dia ditanya oleh kawannya orang Amerika, bertanya apa itu kehidupan? Ia menjawab, “Life is love, the rest is just details”.

Saya suka jawabannya. Ya. Hidup ini adalah cinta, sisanya hanyalah penjelasan rinci dari cinta. Perkara hidup dan cinta ini memang masing-masing orang beda. Filosofi orang Jawa “Urip Kui Mung Mampir Ngombe”. Hidup ibarat cuman mampir minum”. Orang China lain lagi, “Hidup Adalah Uang”. Pengusaha, tentu fokus ke harta, politisi fokus ke tahta (kekuasaan). Orang Islam yang saleh, bukan semuanya itu, dia selalu bilang, “Hidup Adalah Ibadah, meraih cinta dan ridha Allah”.

Begitulah, orang-orang saleh, dalam hidup, memandang harta dan tahta dengan cinta.

Saya kira, ini relevan ya kita obrolkan. Konon, di tengah kondisi yang susah cari cuan ini banyak orang kesusahan, tapi kita coba rehat sejenak. Merenungi kembali eksistensi diri. Bagaimana kemudian kita tetap mendapatkan harta, tahta, tapi tetap lewat jalan cinta, enak buat semua dan Allah Swt juga mencintai kita, meridhai kita..

Terlihat normatif dan moralistis. Tapi, bukankah ini yang kadang hilang dalam kehidupan keseharian? Banyak yang mengejar harta, tahta dengan cara-cara “Koboi”, seenaknya sendiri, semaunya sendiri, melanggar beragam norma. Entah itu hukum, adat sosial bahkan agama.

Kita kembali ke fakta. Umpamanya, layaknya orang kebanyakan, memang sulit dibantah, banyak orang daerah ke Jakarta, salah satunya karena daya tarik harta dan tahta. Separuh waktu dalam sehari, dihabiskan untuk apa yang disebut memburu harta, memburu cuan dengan bekerja dan terus bekerja. Bahkan lebih dari separuh diupayakan untuk itu.. Orang-orang bisnis dan politik juga melakukan, bahkan lebih sibuk, demi apa? Harta dan tahta.

Problemnya kemudian adalah jalannya. Kita akan menempuh jalan apa? Seorang pengarang, Sefik Can, dalam karyanya “Foundamental’s of Rumi’s Thought” menjuluki Maulana Jalaluddin Rumi, seorang penyair masyhur sebagai “rajanya para pecinta” (The Sultan of Lovers), karena gagasannya yang dalam: Jalan Nabi kita adalah cinta. Kita adalah anak-anak cinta.

Pada kenyataannya, dalam memburu harta, memburu tahta, semua punya caranya masing-masing. Tapi ketika cinta dimaknai sebagai jalan nabi, semua kembali kepada pertanyaan dalam diri ketika mengambil beragam keputusan untuk harta, untuk tahta. Jalan yang kita tempuh, apakah Nabi cinta, apakah Allah cinta? Itu saja sudah cukup sebagai pengingat mereka yang menempuh jalan cinta dalam hidupnya.

(Yons Achmad. Kolumnis, tinggal di Depok)

About the Author

Yons Achmad

Penulis | Pembicara | Pencerita

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You may also like these