Saya menaruh hormat kepada para demonstran. Mereka yang masih punya energi membawa angin perubahan. Untuk sebuah tatanan yang lebih berkeadilan. Kali ini, lebih banyak dimotori oleh aktivis mahasiswa yang tergabung dalam Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) dari berbagai kampus. Tuntutan awal cukup masuk akal, diantaranya penghapusan tunjangan DPR yang dianggap tidak proporsional.
Begitu juga tuntutan agar Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset segera disahkan. Para demonstran berpandangan bahwa pengesahan undang-undang ini sangat penting dalam memberantas korupsi dan mengembalikan aset-aset negara yang hilang akibat tindakan koruptif. Aksi dimulai pada 25 Agustus 2025, di depan Gedung DPR MPR RI di Senayan, Jakarta, digerakkan ribuan peserta mahasiswa plus dari berbagai organisasi mahasiswa ekstra kampus.
Aksi awalnya berlangsung cukup kondusif. Sayangnya, aksi hari-hari berikutnya, yang dilakukan oleh elemen massa yang sulit terdentifikasi. Tak hanya dari kalangan mahasiwa, tetapi juga dilakukan oleh para driver ojol dan elemen-elemen massa lain. Kabar kurang menyenangkannya, terjadi beragam kekerasan, baik dikalangan para demonstran maupun aparat kepolisian. Tak hanya berlangsung di DPR, tapi merambah ke berbagai daerah. Hasilnya, bisa kita lihat, banyak memakan korban dari kedua belah pihak. Tragedi paling memprihatikan, korban meninggal (driver ojol) yang digilas mobil polisi.
Kita, tentu mendukung kemurnian aksi demonstrasi. Wujudkan tatanan yang lebih berkeadilan. Menyuarakan beragam keprihatikan di kalangan arus bawah, menyuarakan beragam tuntutan yang tentu saja aksi ini sangat perlu mendapatkan dukungan. Satu hal yang kemudian disayangkan. Beragam aksi menjadi liar, lengkap dengan beragam isu yang bermacam-macam. Termasuk, diwarnai dengan beragam aksi kekerasan. Tentu saja, efektivitas aksi perlu direnungkan kembali.
Keliaran isu, misalnya melihat aksi yang penuh kekerasan ini sengaja disetting. Konon, ada pertarungan sisa-sisa kekuatan “Geng Solo” (Jokowi) dan “Geng Hambalang” (Prabowo). Isu lain yang beredar, aksi bakal digeser untuk lengserkan Prabowo dan otomatis naikkan Gibran sebagai presiden. Layaknya kondisi aksi-aksi yang terjadi, video-video hoaks membanjiri beragam platform media sosial, begitu juga group-group WA. Aromanya sama, memicu kemarahan, kekesalan dan memancing emosi. Tuntutan juga baru lagi dan melebar, kali ini misalnya pecat dan berhentikan secara tidak hormat Kapolri maupun Kapolda Metro Jaya.
Menjadi penting kemudian, solidaritas untuk para demonstran, diarahkan untuk tetap fokus pada tuntutan semula. Juga, perlu terus fokus justru mendorong DPR untuk tetap kritis pada kebijakan-kebijakan pemerintah.
Kenapa? Karena memang kebijakan-kebijakan publik dilakukan pemerintah (Prabowo-Gibran). Sulit memang, di saat hampir semua partai “dirangkul”. Tapi, apa boleh buat, hanya kekuatan DPR lah yang bisa imbangi, gagalkan kebijakan-kebijakan pemerintah yang tak pro rakyat, juga advokasi-advokasi kebijakan yang berpihak untuk kemaslahatan rakyat.
Mungkin terlihat tampak naif. Tapi, jalan inilah yang paling masuk akal. Fokus pada isu yang menukik pada isu kebijakan yang menyejahterakan dan berkeadilan. Bukan terjebak pada isu pergantian posisi misalnya Kapolri atau Kapolda Metro Jaya.
Kenapa? Karena memang ini isu yang dikehendaki oleh elit. Sementara, demonstran dan aparat diadu domba akibatkan korban berjatuhan dari kedua belah pihak. Alih-alih tuntutan awal terpenuhi. Sementara itu, justru, ketika isu digeser, sangat potensial menjadikan para elit baru menduduki kekuasaan (Yang belum tentu lebih baik dari sebelumnya). Ambil untung atas isu yang berkembang. Sementara rakyat tetap sengsara karena tuntutan tak pernah tercapai, padahal sekian korban sudah berjatuhan. []
Yons Achmad. Kolumnis, tinggal di Depok.