Saya sedang ingin melihat sisi terang kehidupan, termasuk sisi terang Indonesia. Sulit memang, di tengah gempuran beragam kejadian yang bikin prihatin, tak masuk akal dan menyedihkan. Saya tak perlu jelaskan kasusnya. Teramat banyak, silakan pantau berita setiap hari. Lihat bagaimana perilaku para pejabat dan wakil rakyat kita. Jelas, banyak yang menyesakkan dada.
Sebagai warna negara, saya memang berhak marah. Saya berhak kritik perilaku pejabat dan wakil rakyat itu, dengan cara yang paling sopan sampai cara yang paling kasar sekalipun. Saya pikir-pikir, sudah lama juga ya saya melakukannya.
Dokumentasi “kemarahan” saya sebagai warga atas kondisi bangsa sudah tersebar diberbagai kolom yang saya buat dan dipublikasikan di beragam media, baik cetak maupun online. Beberapa diantaranya dikumpulkan jadi buku.
Capek? Iya, tentu saja. Capek melihat Indonesia.
Di sisi lain, terpaan media dan media sosial yang membombardir tanpa henti, setiap hari, tak bisa saya hindarkan. Hadir terus menerus saat saya membuka HP atau laptop. Saya baca dan nonton perlilaku para pejabat dan wakil rakyat, yang tentu saja peristiwa-peristiwa “heboh” yang diberitakan.
Tiba-tiba, saya merasa kesal, marah dan ingin berkomentar dengan kasar dan cacian. Beberapa kali terlontar spontan, beberapa diantaranya bisa saya tahan.
Pada sebuah masjid, selepas shalat jamaah bersama anak-anak, saya merenung. Lantas, saya menemukan semacam “pencerahan”. Ini tidak boleh terjadi, ini tak boleh terus-terusan terasakan karena bisa berpengaruh terhadap kesehatan mental. Begitu juga, membuat saya tidak bisa fokus, sering ter “distraksi” oleh berita-berita yang kadang memang provokatif.
Kemudian, saya ambil semacam kesimpulan. Rasa-rasanya, boleh juga sekarang fokus pada “Sisi Terang Kehidupan, “Sisi Terang Indonesia”.
Praktiknya, saya kemudian bisa berusaha untuk melihat sisi terang sesama, fokus pada kelebihan orang itu, bukan kekurangannya. Termasuk, ketika menyoroti kondisi bangsa, Indonesia. Saya coba berusaha melihat sisi terangnya.
Kalau tak hati-hati memang sering jadi naif dan kurang kritis memandang keadaan, persoalan.
Dalam kondisi semacam itu, saya tentu berusaha tak menutup mata pada fakta. Hanya saja, kemudian saya tarik bagaimana peristiwa tidak semata-mata dipandang sebagai fakta, tapi mencoba memberikan makna atas setiap peristiwa.
Saya kemudian berusaha konsisten dan disiplin mencobanya.
Hasilnya, saya merasa kondisi kesehatan mental dan kejiwaan saya mulai membaik. Salah satunya, tidak “Gumunan”, istilah bahasa Jawa yang bisa diartikan tidak takjub, heran, terpesona atau kagetan dalam memandang setiap peristiwa. Apa sisi terangnya? Ini yang coba saya tekankan.
Pada akhirnya, semuanya itu, bisa terbaca pada karya-karya saya belakangan ini, termasuk produksi konten-konten video yang saya dan tim kerjakan.
Di sana, selalu coba kita hadirkan “Sisi Terangnya”. Harapannya, untuk skala yang lebih luas, tentu saja agar terus bisa fokus pada kekuatan bangsa dan bagaimana memajukannya. Untuk diri pribadi, tentu saja biar “Kagak Gila”. Itu saja.
Yons Achmad. Kolumnis dan konsultan Komunikasi.