Sekarang untuk Sayang

Apa yang ada sekarang, ubah saja menjadi ungkapan sayang. Masa lalu tinggalah cerita, masa depan belum benar-benar sesuai dengan mimpi yang direncanakan. Maka, sekarang adalah momentum kehadiran. Kita perlu tampilkan ruang kehadiran yang di sana harapan kebahagiaan itu memacar. Dalam senyum pasangan kita, dalam tawa riang anak-anak kita. Juga keluarga terdekat. Itu sudah cukup sebagai alasan untuk mensyukuri hidup.

Di tengah hidup yang konon semakin sulit ini, rasa-rasanya senyum semakin langka saja. Di media sosial, teramat banyak kisah-kisah emosi yang berujung pada kekerasan, manusia menjadi begitu mudah meluapkan amarah, banyak yang tanpa pikir panjang ambil kepututusan, tampak gagah sesaat tapi akhirnya berujung kecewa karena aksinya malah berbalik merugikan dirinya. Tak hanya menahan malu karena sanksi sosial, bahkan banyak yang berujung masuk penjara.

Sebagai kaum dari kalangan biasa, tentu saya merasakan dampak ekonomi sulit ini. Saya tentu juga sangat berpotensi tersulut amarah karena keadaan. Pada masa-masa demikian, benar-benar menjadi tantangan bagaimana kita bisa benar-benar mengontrol diri menyikapi keadaan. Tak terpancing untuk bersikap yang memang dikehendaki seseorang atau kelompok-kelompok berkepentingan.

Fenomena paling gampang saat membaca dan menonton potongan berita. Setiap hari kita terpapar berita-berita yang kadang sering provokatif. Ketika membaca dan menontonnya, tiba-tiba kita menjadi kesal, emosi, tersulut amarah. Padahal, sebelumnya kondisi kita baik-baik saja. Terlepas dari apapun, memang itulah yang diinginkan mereka yang bekerja di balik media. Sementara, sebagai konsumen informasi, banyak yang secara tak sadar tersulut emosi. Padahal, info yang ditampilkan, kadang, di luar jangkauan kita. Isu sangat jauh dari misalnya profesi, karier atau bisnis kita.

Di sini, secara tak sadar kita jadi korban media, korban media sosial. Fokus kita terpecah, padahal seharusnya ada yang lebih penting. Misalnya, fokus pada karier dan pekerjaan. Itu prioritas agar bisa menyelamatkan orang-orang terdekat kita. Terhindar dari kemelut hidup. Terutama “kelaparan” dan “Kekurangan” dalam arti sebenarnya. Tak jarang, orang banyak lakukan kriminalitas dalam skala kecil maupun besar, karena keadaan semacam itu.

Paparan media sosial pula, seringkali menjadikan kita “pesakitan”. Dalam arti sering melihat banyak orang lebih sukses darinya, dan itu membuat begitu gelisah. Akhirnya, begitu terobsesi dengan masa depan. Akhirnya, mengorbankan kehidupan yang sekarang. Tidak menikmati kehidupan yang sekarang. Padahal, esensi kehidupan ada pada apa yang dihadapi sekarang. Bukan kemarin, bukan esok hari.

Itu sebabnya, saya kenalkan istilah “Sekarang untuk Sayang”. Saya ciptakan secara agak semena-mena. Untuk ingatkan diri pribadi. Apapun yang ada, nikmati saja saat sekarang. Memang tetap harus bekerja dengan ikhtiar yang terbaik hari ini. Itu sudah cukup. Selebihnya, tidak mengorbankan segalanya untuk masa depan yang belum tentu datang.

Justru, fokus “Sekarang untuk Sayang” perlu dihadirkan. Tetap memberi perhatian penuh pada orang-orang tersayang di dekat dan sekitar kita hari ini, bukan nanti atau esok hari. Apapun kondisinya. Toh, hidup kata orang Jawa “Sawang Sinawang”. Ciptakan momen-momen terbaik untuk orang-orang yang kita cintai, hari ini. Setidaknya, ini satu “Trik Hidup”, agar kita masih bermakna bagi orang-orang terdekat kita.

Yons Achmad. (Kolumnis, tinggal di Depok)

About the Author

Yons Achmad

Penulis | Pembicara | Pencerita

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You may also like these