Agile Catch the Signal

Agile Catch the Signal
Oleh: Yons Achmad
(Praktisi Branding. Pendiri Brandstory.id)

Sebuah organisasi. Entah itu berupa komunitas, organisasi sipil, perusahaan, instansi pemerintah, institusi pendidikan, kalau mereka tidak gercap (gerak cakap) tangkap isyarat, maka terimalah kenyataan. Mereka akan ditinggalkan. Semua ini adalah dampak dari misalnya, generasi milenial, generasi Z (Gen-Z) yang punya kecenderungan resisten (menentang/melawan) organisasi yang masih terus sibuk membawakan lagu-lagu lama. Tanpa kebaruan, tanpa penyegaran.

Generasi milenial, generasi z, punya preferensi (kecenderungan) yang berbeda terkait kepemimpinan, komunikasi dan juga kerja-kerja tim. Mereka cenderung menolak segala sesuatu yang tidak sejalan dengan alam pikiran dan budaya organisasi yang dinilai stagnan. Generasi sebelumnya, yang juga selalu membanggakan kesenioran dan pengalaman, padahal belum tentu relevan dengan zaman, menghilangkan respect generasi milenial, generasi z pada sebuah organisasi. Singkat cerita, generasi ini butuh "Kebaruan", butuh "Perubahan", butuh "Penyegaran".

Kabar baiknya, dunia membuka alternatif yang cukup luas bagi setiap generasi untuk berkembang, tumbuh dan menjadi versi terbaik mereka. Beragam isyarat sebenarnya sudah terpampang nyata di alam semesta. Kecerdasan untuk gercap, salah satunya tangkap insyarat, menjadikan mereka punya peluang yang sama meraih keberhasilan. Memang, dalam prosesnya, tak selalu mudah dicapai. Tapi setidaknya, keputusan mengambil langkah. Secara independen, penuh kesadaran dan dengan kemandirian, memberikan banyak peluang untuk meraih keberhasilan. Sementara, generasi lama, kurang akomodatif berikan peluang-peluang demikian. Bahkan, ada yang terang-terangan menghambat.

Saya membaca sepintas, bagaimana generasi-generasi z misalnya, banyak sekali yang sudah menduduki posisi komisaris-komisaris dalam BUMN maupun BUMD. Sementara, generasi “Senior” mereka malah banyak yang jadi “Gelandangan politik”. Sementara, di beragam sektor swasta, mereka tidak mau lagi menjadi “Ekor Gajah”, menjadi bawahan dalam sebuah organisasi, perusahaan, bahkan sebesar apapun. Ada kecenderungan untuk menjadi “Kepala Semut”. Memimpin sebuah perusahaan sendiri, walaupun dari skala kecil, mengangkat  dirinya menjadi seorang founder (pendiri), merangkap CEO. Apakah yang demikian juga relevan? Paul Jarvis dalam buku “Company of One” setidaknya meyakinkan, bagaimana “Staying Small Is the Next Big Thing for Business”.
Memang, semuanya ini butuh nyali dan keberanian.

Boleh dibilang, banyak yang baru sadar. Tapi tak ada kata terlambat untuk berubah. Misalnya, sekian lama, tumbuh dan berkembang dengan membawa “Bendera-bendera” orang lain. Bendera ormas, bendera partai, bendera perusahaan, bendera organisasi yang menjadi batu pijakan orang lain. Senior-senior di dalamnya. Mereka kini sudah banyak yang berada di atas, bahkan ada yang di puncak pencapaian. Sementara, barangkali kita sebagai “junior” sendiri masih berada di posisi yang tak jauh beda dari sebelumnya.

Kalau sudah begini, maka tak ada cara selain melompat lebih tinggi lagi. Perlu lompatan (quantum leap) untuk bisa mencapai perubahan-perubahan secara signifikan, radikal dan berdampak. Singkatnya, melakukan semacam percepatan. Artinya, fokus saja pada “goals” yang telah direncanakan dan tinggalkan saja  semuanya yang kurang gercap, lambat dan terlalu banyak alasan (excuse) atau suka berpikir berlebihan (overthinking).  

Termasuk, tinggalkan saja "bendera lama" kalau hanya berikan kenyamanan dan kekuasaan bagi para "Senior" sementara para "Juniornya" tak diperhatikan, bahkan "keleleran".  Harapan perubahan, memang selalu ada. Tapi, kalau terlalu lambat, tinggalkan saja. Saatnya, berdera kita sendiri berkibar. Berhasil? Belum tentu, tapi seni tantangannya ada di situ. []





About the Author

Yons Achmad

Penulis | Pembicara | Pencerita

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You may also like these