

Penulis | Pembicara | Pencerita
Saya Berkuasa Maka Saya Ada
(Sebuah Ironi Politik)
Oleh: Yons Achmad
(Pendiri Progres Indonesia)
“Kekuasaan itu indah kawan-kawan”, kata Sekjen PKS Habib Aboe Bakar Al-Habsyi. Orang boleh tak sependapat dengan ungkapan tokoh partai Islam itu. Atau tak sependapat dengan ungkapan “Saya Berkuasa Maka Saya Ada”. Tapi, pada kenyataannya, setiap orang sejatinya senang menduduki kekuasaan. Membuatnya merasa ada, biasanya pula, menjadikan dirinya punya kendali. Tak hanya pada lingkup yang kecil (umpamanya kepanitiaan), tapi juga dalam skala yang lebih besar, negara.
Filsuf Jerman, Nietzsche pernah menggambarkan bagaimana hidup adalah sesuatu yang tanpa henti. Beragam kejadian, beragam peristiwa dengan pola yang sama bakal terjadi, yang berbeda hanya orang (pelakunya) saja. Ia menyebutnya sebagai sebagai keberulangan abadi (Die ewige Wiederkunft des Gleichen). Di mana di dalamnya, ada apa yang disebut dengan kehendak untuk berkuasa (Der Wille zur Macht). Dalam kehidupan manusia, kehendak untuk (selalu) berkuasa, mengabadi pula.
Maka, apa boleh buat, politikus yang misalnya sudah duduk di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) periode pertama, ia akan tetap berusaha terpilih lagi pada periode berikutnya. Kenapa? Hasrat berkuasa memang menjadi salah satu motif hidup orang. Mungkin, memang tak ada yang bakal lolos dari kehendak berkuasa termasuk pemuka agama sekalipun. Umpamanya, Haikal Hassan, dulu berbusa-busa menjadi oposisi abadi, tak bakal mau masuk kekuasaan. Tapi, ketika kesempatan itu ada, mau juga dipanggil oleh Prabowo tempo hari dalam acara “Wawancara” penyusunan kabinet yang rame dengan istilah Kabinet H2C (harap-harap cemas) itu.
Orang banyak yang bilang Haikal itu pengkhianat. Tapi, lontaran yang entah itu candaan atau bukan yang bilang “Kekuasaan itu indah kawan-kawan”, rasa-rasanya memang menggoda. Orang boleh menghakimi Haikal, tapi dia sendiri yang paham betul urusan “Dapur Ngebul” keluarganya. Maka, biarlah hal itu jadi kenyataan politik. Kita tak usah baperan. Kenapa? Kalau memang ada kesempatan, toh kita belum tentu juga lolos dari jeratan syahwat kekuasaan. Kesempatan ada di depan mata Bung! Tak datang dua kali. Haikal Hasan yang paling mengerti kondisi dirinya. Tak perlu kita ikut campur.
Tapi, apakah kita membiarkan saja kenyataan-kenyataan demikian? Tentu tidak. Semua ini, tentu untuk menghindarkan diri dari apa yang disebut oleh Hannah Arendt sebagai banalitas kejahatan (banality of evil). Menjadikan kejahatan kemudian sebagai hal yang biasa saja. Termasuk di dalamnya, kejahatan politik. Menjadikan sesuatu yang salah dibiarkan saja, dianggap wajar, yang menjadikan hal itu kemudian tidak lagi dianggap sebagai sebuah kesalahan. Tentu ini sangat berbahaya bagi Indonesia ke depan. Kasus “Anak Haram Konstitusi” kemarin contoh nyata banalitas kejahatan itu. Dianggap wajar saja, seolah tak ada yang salah dengannya.
Masalahnya, kenapa hal semacam ini masih bisa terjadi? Filsuf Martin Heidegger pernah mengenalkan istilah ketidakberpikiran (Gedankenlosigkeit). Orang mungkin update, membaca dan menonton potongan-potongan tayangan video di media sosial. Apakah jaminan pintar? Tidak. Kecuali, ia mampu mempertanyakan secara kritis apa yang sebenarnya terjadi, apa yang tidak tampak dari penglihatan mata indera. Kalau itu tak ada, boleh jadi kita yang merasa sok tahu, paling tahu, ternyata masih masuk dalam kategori ketidakpikiran. Tandanya apa? Tak lain tak bukan terhinggapi oleh kedangkalan cara berpikir kita. Tak kritis memandang realitas politik. Biasanya, pragmatisme hasrat ingin berkuasa, masuk dalam kekuasaan, menyebabkan nalar tumpul, hilang sikap kritis.
Jadi, bagi yang berprinsip “Saya Berkuasa Maka Saya Ada” biarkan saja. Biarkan menjadi realitas politik, walau itu tentu sebuah ironi. Anggap saja semuanya semacam drama, dagelan, humor atau lelucon sahaja. Maka, ketika ada meme muncul terkait seleksi kabinet H2C misalnya foto senyum tengil Gibran dengan narasi “Selamat Datang Para Pembantu”, rayakan saja. Berkuasa, memang enak dan perlu. Lagi-lagi orang boleh tak sependapat. Hanya saja, realitas politik menyajikan menu demikian. Pada akhirnya, sikapi saja semuanya dengan riang gembira. Hanya, kalau boleh, sedikit sisakan ruang keberpikiran kritis kita, agar hidup tetap menyala. []