Energi Sebuah Resolusi

Bosan bikin resolusi, kini biarkan hidup ngalir saja? Tenang, banyak orang ngalamin kok. Tapi, bagi yang tetap bikin dengan rapi walau kagak dipublikasikan, disimpan diam-diam, tak salah juga. Yang namanya resolusi toh hak semua orang. Bebas. Resolusi, sebagai sebuah tekad atau janji hidup lebih baik, lebih positif, lebih berguna di tahun baru, rasa-rasanya masih perlu. Di tengah energi untuk sebuah resolusi yang mungkin terlihat menipis. Kenapa?

Salah satunya faktor negara, faktor pemerintah. Banyak yang berkesimpulan demikian. Hidup menjadi amburadul, hidup semakin susah, perekonomian semakin sulit ya karena ulah negara (pemerintah). Kekayaan dikeruk abis untuk sekelompok orang “pengelola negara” dan lingkarannya, uang negara dikorupsi, sementara kebijakan publik tak menyentuh “rakyat kebanyakan”. Ini yang bikin banyak orang putus dan pupus harapan.

Memang sih, resolusi, ketika dimaknai juga sebagai harapan, kadang hadirkan paradoks. Semakin berharap kepada negara, kepada pemerintah, begitu juga kepada orang lain, semakin pula memunculkan kekecewaan kalau tak sesuai dengan keinginan awal kita. Nah, rasa-rasanya, perlu juga minimalisir faktor luar ini. Bukan berarti apatis pada negara (pemerintah). Tapi mencoba pusatkan energi resolusi yang fokus pada diri.

Dalam perkara resolusi, tim Jurnalisme Data Kompas pernah rilis resolusi semacam ini. Orang Indonesia rata-rata ingin “Lebih Taat dan Lebih Cuan” di tahun baru. Media Monitoring Litbang Kompas terhadap 3.936 unggahan di media sosial mengungkapkan bahwa 50,4 persen warganet menetapkan ”peningkatan ibadah” sebagai resolusinya.

Data yang dihimpun dari Youtube, X, Facebook, Tiktok, dan Instagram ini mencerminkan hal itu, mulai dari membaca kitab suci lebih rutin, meningkatkan kualitas ibadah, ziarah keagamaan, hingga memperbaiki penampilan sesuai anjuran agama.

Menaikkan kemampuan finansial pribadi menjadi resolusi terbanyak kedua warganet (18,4 persen). Banyak warganet ingin mendapat pekerjaan dengan gaji lebih tinggi, memiliki aset hingga menambah tabungan. Selebihnya, sebanyak 16,1 % ternyata masih setia untuk mewujudkan kembali resolusi tahun lalu yang belum tercapai. Kemudian, juga ingin hidup lebih sehat, lebih hemat dan tingkatkan kompetensi diri.

Sementara, rasa-rasanya, kehidupan di 2026 lebih menantang. Saya menghindari diri untuk menyebut misalnya bakal lebih buruk, bakal lebih susah, bakal lebih suram. Alih-alih mengutuk keadaan, bolehlah kita telisik sinyal Indonesia terang dengan lebih jeli membacanya.

Saya kira, survei di atas, sepintas bisa gambarkan keadaan. Di mana, konon resolusi meningkatkan ibadah mencerminkan upaya mencari ketenangan di tengah ketidakpastian. Sementara keinginan meningkatkan finansial menunjukkan kesadaran kelas menengah yang melek informasi terhadap situasi yang tak menentu. Tingkatkan finansial adalah jalan yang wajib ditempuh, bukan yang lain.

Di sini jelas sudah. Orang Indonesia menginginkan dirinya hadir sebagai sosok yang taat dalam beragama, tapi tetap berdaya secara finansial, menjadi pribadi yang mandiri (berkecukupan). Memang, inilah harapan setiap orang. Saya tak tentu tak bakal menggurui bagaimana caranya. Satu yang terpenting “Goal, Plan, Action”nya sudah tersusun rapi. Kini, saya hanya mau bilang, selamat berjuang. []

(Yons Achmad. Kolumnis, tinggal di Depok)

About the Author

Yons Achmad

Penulis | Pembicara | Pencerita

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You may also like these