Setia Jadi Kolumnis

Saya tengok folder “Project Kolom 2025” di laptop. Saya hitung 300-an kolom dengan beragam tema. “Lumayan juga,” gumam saya. Artinya, kalau bolehlah dirata-rata, hampir setiap hari saya menulis dan siarkan kolom-kolom itu. Lebih banyak di media online. Setiap kolom tak panjang, 1 sampai 2 halaman saja. Lalu, saya merenung, apa dampaknya?

Sebelum ke sana, izinkan saya sebut beberapa nama. Noam Chomsky, seorang kolumnis Amerika sekaligus intelektual kritis, pandangannya tajam, tidak pernah mau kompromi kepada kekuasaan. Ada Goenawan Mohamad, pendiri Majalah Tempo dan kolumnis terbaik Indonesia. Menulis “Catatan Pinggir” rutin. Mingguan, tanpa pernah berhenti selama bertahun-tahun. Ada juga Emha Ainun Nadjib (Cak Nun), penulis ribuan kolom yang dibukukan dengan beragam judul unik semisal “Iblis Tak Butuh Pengikut,” “Istriku Seribu,” “Kafir Liberal” sampai “Jibril Tidak Pensiun”.

Saya tentu tak ingin sepenuhnya jadi seperti mereka. Tapi, sekadar teladani “Kesetiaannya” menulis kolom. Sepanjang tahun, bahkan sepanjang hidup. Dari sekian kolom yang mereka tulis, sudah pasti, dan kemungkinan besar bisa memberikan dampak, menginspirasi orang. Satu saja menginspirasi dan berikan dampak, tentu itu sudah lebih dari cukup.

Jujur saya katakan, usaha berikan dampak ini yang terus saya kerjakan.

Saya juga percaya, usaha “Setia” dan “Kesetiaan” semacam ini sudah pasti juga “Menghasilkan”. Cepat atau lambat.

Maka, setiap hari, selepas isya, saya tak pernah ke luar rumah lagi (kecuali ada hal yang sangat penting). Saya tidur lebih awal, sekitar jam 21.00 atau 22.00. Saya selalu berdoa dan berusaha bangun jam 03.00 setiap hari. Di sepanjang pagi, sebelum subuh itu, kolom-kolom itulah kebanyakan saya hasilkan.

Ah cuman kolumnis medioker kan?

Mungkin ada yang bilang begitu. Tak masalah, saya tak anti kritik. Justru menjadi cambuk. Untuk jadi kolumnis yang “bermutu” memang tak cukup dengan membaca buku. Ia harus rajin juga “ngopi-ngopi” dengan orang lain (pakar, pelaku sejarah, penguasa bahkan sampai korban kebijakan publik dll). Dengan begitu, kekayaan perspektif menjadi mungkin dihadirkan.

Terakhir, apakah dengan jadi kolumnis saja bisa hidup?

Hey. Anda meledek? Ya jelas nggak. Di Indonesia, jadi presiden aja masih harus “Nyambi” berkebun sawit. Ahai.

Saya menulis kolom sebagai semacam “Penghiburan” saja, tapi bolehlah juga sebagai ungkapan syukur. Selebihnya, sekadar cara lain “membaca hidup” agar menjadi sedikit lebih terhormat. Walaupun, untuk mencukupi hidup sebagai kolumnis, terkadang harus melakukan pekerjaan lain apa saja. Satu hal yang pasti, saya terus menulis, agar membuat hidup terus berdampak, untuk diri dan sesama. Setidaknya, dengan terus menulis, hidup juga rasa-rasanya sedikit menjadi ada gunanya. []

(Yons Achmad. Kolumnis, tinggal di Depok)

About the Author

Yons Achmad

Penulis | Pembicara | Pencerita

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You may also like these