Sebagai orang Jawa, saya tentu akrab dengan istilah “narimo ing pandum”. Sebuah filosofi hidup orang Jawa yang artinya kira-kira “menerima segala pemberian atau takdir dengan ikhlas dan lapang dada”, baik yang baik maupun buruk, banyak atau sedikit, tanpa mengeluh atau merasa iri, sebagai wujud syukur dan ketenangan batin, dengan tetap menjalankan ikhtiar.
Akhir tahun, itulah yang juga saya lakukan. Bersyukur.
Setiap orang tentu punya Syukur yang berbeda. Akhir tahun ini, semua sehat. Saya, istri, anak-anak, keluarga besar (orang tua dan mertua), semua sehat. Ini sudah lebih dari cukup untuk mensyukuri hidup. Kenapa? Pernah kami sakit, berbarengan, sungguh semua tak mengenakkan. Tidak bisa bekerja, uang habis tak tersisa, aktivitas hanya tergolek di ranjang saja. Alhamdulillah, akhir tahun ini sehat semua. Artinya, tahun depan kami masih bisa merancang hidup yang lebih baik lagi.
Sepanjang tahun ini, Syukur terpanjatkan, beragam kebahagiaan sudah kami dapatkan. Umpamanya, kebahagiaan fisik (physical happiness). Sebuah kenikmatan tak sakit, bisa makan apa saja tanpa pantangan, bisa tidur nyenyak, itu sudah lebih cukup terasakan.
Kemudian, kebahagiaan intelektual (intellectual happiness). kebahagiaan fisik itu durasinya sangat pendek, easy come easy go. Konon, Ketika kita mati, semua kenikmatan itu hilang, tentu beda dengan kebahagiaan intelektual. Ia, yang melibatkan pikiran dan nalar rasional, bisa menghasilkan kebahagiaan intelektual yang abadi, lewat karya-karya kita. Alhamdulillah, beberapa karya lahir sepanjang tahun ini.
Kebahagiaan lain, kebahagiaan estetik (aesthetical happiness). Sebuah rumah yang mungkin kecil saja, tapi tertata rapi, dengan buku-buku di ruang tamu atau ruang keluarga, lagi-lagi sudah cukup untuk mensyukuri hidup. Ia bukan sekadar “house” tapi benar-benar menjadi “home”. Begitu juga, bisa sedikit menghibur diri dengan musik-musik yang menyejukkan telinga, punya sedikit binatang peliharaan yang menghasilkan (daging-telur), bolehlah kebahagiaan demikian kita syukuri.
Lalu, kebahagiaan moral (moral happiness) bolehlah juga kita syukuri. Semisal kita masih bisa membuka hati untuk orang lain, gelisah ketika ada ketidakadilan di depan mata, tergerak hatinya untuk berempati kepada orang lain. Memang, ketika melihat Indonesia yang sedang tidak baik-baik saja ini, kadang kita marah, jengkel. Saya sendiri juga merasakan. Ada godaan misalnya bersikap “nyinyir berlebihan” (cynical emotions) kepada personal bahkan pemerintah, tapi sepanjang tahun ini, alhamdulillah bisa tersampaikan lewat karya-karya yang tak sekadar “kemarahan”, tapi, menjadi lebih argumentatif dan solutif.
Pada akhirnya, sebagai penutup, karunia kebahagiaan spiritual (spiritual happiness) benar-benar perlu kita syukuri. Sebuah jalan hidup yang selalu terhubung dengan Tuhan. Bayangkan, bagaimana ketika keterhubungan itu tak ada. Banyak ragam cerita kejahatan, semisal pencurian, perampokan, pembunuhan, korupsi dll. Semua karena “iman” tak hadir, keterhubungan dengan Tuhan lenyap, hilang.
Hal-hal di atas, lagi-lagi sudah lebih dari cukup untuk mensyukuri hidup. Tahun 2026 mendatang, harapannya, hadir “Indonesia Terang”. Kalau terlalu pesimistis pada Indonesia, setidaknya, “Terang Bagi Kita Semua”. Makhluk Tuhan yang sekadar menjalani hidup dengan ikhtiar penuh dan pasrah pada hasil akhirNya. []
NB: Foto lustrasi sahaja. Semacam kesyukuran dalam bentuk lain juga.
Yons Achmad. (Kolumnis. Pendiri Brandstory.id)