Slow But Surprising

Slow But Surprising
Oleh: Yons Achmad
(Kolumnis, tinggal di Depok)

Saat SMA, saya tinggal di Pondok Al-Ichsan, Kota Magelang. Pagi, kami belajar di sekolah negeri, sore dan malamnya kami belajar di pondok. Saya punya teman, anak STM satu pondok. Kayaknya sama-sama berandalan juga. Sepertinya, kami pernah dihukum karena ketauhan nonton film di bioskop. Selepas SMA, saya tak berkontak. Baru sekian lama bersua dan kembali berkontak.

Ternyata, diam-diam dia kuliah sampai dapat “Lc” di Universitas Al-Azhar, Mesir. Tiba-tiba, dia dirikan pondok pesantren di Bantul, Jogjakarta. Sebenarnya, tidak tiba-tiba. Pelan-pelan, dia punya mimpi dan kesampaian. Benar-benar mengejutkan. Mengetahui kabar kehidupan sekarang, tentu saya senang mendengarnya.

Saya punya teman kampus. Satu kontrakan. Sejak mahasiswa sudah mandiri. Menjadi penjaga warnet. Kalau dia sedang capek, saya menggantikan jaga. Begadang sampai pagi. Dia anak matematika, otaknya cemerlang, tapi IPK dua koma melulu. Kuliah lama. Tapi lulus juga. Berharap bisa S2. Tapi, konon IPK tak memungkinkan. Akhirnya, karena dia seorang programer, bikinlah semacam “Sistem” yang dipakai oleh bank-bank swasta. Kini, dia jadi bos perusahaan IT dan sementara tinggal di New Zeland.

Saya punya teman lagi. Cewek. Kali ini teman sepermainan semasa sekolah. Dia passionnya mengambar. Khususnya desain-desain baju. Pelajaran-pelajaran sekolah tak dipedulikannya. Satu hal yang dia tahu dan suka ya menggambar, desain-desain baju itu. Jumpa lagi tak sengaja. Melepas kangen. Baru tahu, dia lulusan kampus desain ternama. Hasilnya, karya-karya desain bajunya, tak hanya dikenal di dalam negeri. Tapi, sampai ke manca negara. Kini dirinya selalu hadir di publik dengan tampilan yang cantik, berkelas dan sekarang konon lebih banyak senyuman tersungging dari bibirnya. Sebuah capaian yang tak bisa dipandang remeh.

Kalau yang ini lain lagi. Seorang dokter. Usia sudah 75 tahunan. Pemilik dua rumah sakit di Jakarta Timur. Kenal sudah sekira 10 tahunan. Saya sudah menulis sekitar 8 buku atas namanya. Capaian hidup sudah selesai. Tapi, dia masih ingat dulu dengan satu kawannya seorang dokter yang kini sudah meninggal. Mereka berdua punya semacam nazar (Janji, komitmen dengan Allah). Untuk bisa bangun masjid kalau sudah sukses. Kini, baru kesampaian. Sebuah masjid dengan desain modern minimalis, mulai dalam tahap pembangunan.

Oh ya, satu lagi. Kawan sepermainan sewaktu SD. Dia jadi anak yang selalu rangking terakhir dulu. Tapi, hidupnya selalu santai dan ceria. Banyak kisah dan kegilaan-kegilaan sewaktu kecil saya jalani bersamanya. Sekian tahun tak ketemu, jumpa lagi. Lagi-lagi melepas kangen. Dia, kini jadi pengusaha semacam makanan ringan dan roti-roti rumahan. Cita-cita dalam hidupnya satu saja. Bisa menghajikan ibunya. Itu saja. Dan sekarang sudah kesampaian, dia sendiri sudah haji pula.

Pesan moral cerita ini. Tentu bagi saya pribadi. Tak usahlah silau atau rendah diri terhadap “Kesuksesan” orang lain. Lebih baik tetap fokus pada mimpi sendiri. Kejar terus sampai berhasil. Itu saja.

About the Author

Yons Achmad

Penulis | Pembicara | Pencerita

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You may also like these