

Penulis | Pembicara | Pencerita
Saya pecinta warna hitam. Semua baju, celana, tas, sepatu, sandal, topi, HP, laptop, headset, kendaraan, sampai botol minum, semua warna hitam. Seperti kata Prie GS (alm) penulis buku “Hidup Bukan Hanya Urusan Perut”, saya juga begitu, sama halnya dengan urusan makanan, dalam urusan pakaian (outfit) saya tak mau ribet. Warna hitam jadi pilihan, tentu saya punya alasan filosofis, tapi saya tak akan beberkan di sini. Anggap saja warna hitam itu selera saja. Yang namanya selera tak bisa diperdebatkan.
Dulu saya benci warna hitam. Apalagi, perempuan muslimah yang bercadar. Ampun dah, apa sih maunya. Tapi, semakin ke sini. Apalagi setelah lumayan akrab bergaul dengan anak-anak “Hijrah”. Ternyata, hampir semua persepsi saya tentang mereka keliru. Saya kini lebih toleran memandang perbedaan. Anehnya, saya malah jadi penggemar warna hitam pula sekarang. Alamak. Jadi, lebih simpel ketika memutuskan membeli baju dan memakainya. Semua hitam.
Semua itu, dampak pendemi juga. Sebelum pandemi, saya lumayan laris manis dipanggil jadi pembicara publik ke sana ke mari, terutama instansi pemerintah. Mengharuskan saya memakai baju yang cocok. Karena baju terbatas, sering kebingungan pakai stelan apa. Pandemi datang, undangan nyaris tak datang, begitu juga beberapa bisnis yang saya jalankan dengan teman-teman tumbang. Pandemi memaksa hidup super hemat dan sederhana. Pilihan-pilihan realistis harus dijalankan.
Kata orang, sadar atau tak sadar terapkan apa yang disebut “Frugal Living”. Sebuah gaya hidup yang hemat, hidup sederhana, hidup secukupnya. Sebenarnya, ini terinspirasi juga oleh kata-kata istaria, almarhum ibu saya “Kalau kamu hidup hemat, semua yang kamu dapat pasti cukup” begitu kira-kira. Walau “ajaran” ini ditolak mentah-mentah oleh mentor bisnis saya yang bilang “Seberat apapun hidup, semahal apapun hidup, kalau pendapatan kamu cukup, semua akan baik-baik saja.”
Hanya, dalam soal “Frugal Living” ini, orang-orang seperti Mark Zuckerberg, Steve Jobs, Ratu Elizabeth, Leonardo de Caprio, dan pesohor lainnya telah mempraktikkan gaya hidup semacam ini. Singkat kata, gaya semacam ini boleh juga. Ia bukan berarti pelit. Tapi sebuah kesadaran penuh (mindfull), sepenuh hati kurangi gaya hidup yang konsumtif. Manfaatkan kode promo resto, berburu tiket murah, juga tak malu bawa botol air minum (tumbler), beberapa contoh saja. Hanya sekali lagi, bukan pelit. Beda konsepnya. Boleh terapkan gaya hidup demikian. Tapi, kata Daisy Luther dalam buku “The Ultimate Guide to Frugal Living”, tetap jaga empati: Tetap memberikan bantuan ke orang membutuhkan.
Praktik yang saya jalankan, salah satunya adalah ngetrif. Memang istilah ngetrif itu belum diakui “Badan Bahasa”, sama seperti “Ngetrip”. Maklum, awalan “Nge” belum diakui. Memang, agak terpengaruh dengan Bahasa Jawa. Tapi, sebenarnya, kita sudah biasa bilang misalnya “Ngebis”, “Ngebom” dst. Maka, selain populerkan istilah ngetrif ini sebagai bahasa keseharian, perlu juga jadi semacam gaya hidup yang lumayan bikin produktif.
Perkembangan terbaru, ngetrif makin menjadi gaya hidup kekinian, yaitu frugal atau hemat dan ramah lingkungan. Selain murah, membeli pakaian second berarti menjalankan prinsip 3R (reduce, reuse, recycle). Gaya hidup ini mendorong pengurangan produksi pakaian diiringi penggunaan dan daur ulang produk yang telah ada. Saya sendiri 90% “Outfit” adalah hasil ngetrif. Semua hitam. Ya, setidaknya gaya hidup juga perlu konsep tipis-tipis. Bukan soal benar salah. Tapi, kita sedang bicara alternatif pilihan gaya hidup yang bikin simple, efisien, hemat dan tentu saja produktif. []