Kesetiaan Lingkar Kajian

“Kehidupan kami dulu berawal dari pojok serambi masjid itu”. Seseorang yang kini menjadi anggota DPR-RI dan petinggi partai itu menunjuk dengan senyum sebuah pojokan di sebuah masjid bernama Ukhuwah Islamiyah.

“Waktu begitu cepat ya,”katanya

“Pokoknya, di mana kita ditanam, tumbuhlah,” kata yang lain.

Sebuah percakapan singkat. Semacam nostalgia, merapal kenangan-kenangan semasa menjadi aktivis masjid kampus. Dengan segala pernak-pernik ceritanya. Mereka yang pada awalnya sangat kurang dan awam terhadap agama, kesetiaan pada lingkar kajian Mingguan, membawa bekas tersendiri.

Orang-orang ini, berawal dari pertemuan rutin Mingguan itu, lantas merasa resah dengan kondisi bangsa. Sementara, dinamika bangsa semakin cepat berjalan. Momentum-momentum, keputusan-keputusan besar diambil. Mulai dari mendirikan organisasi ekstra berbasis anak-anak masjid kampus, juga mendirikan partai politik berbasis masa Islam perkotaan.

Hasilnya, bisa kita lihat sekarang.
Anak-anak LDK, KAMMI, anak-anak PKS itu.
Berkiprah ikut kelola negara.

Menjadi anggota DPR-RI, DPRD, menjadi komisaris di berbagai BUMN, menjadi direktur dan komisaris berbagai BUMD. Di luar ini, anak-anak pintar itu banyak yang jadi dosen, doktor dan profesor di berbagai perguruan tinggi, juga profesional di berbagai bidang. Mereka semua, anak-anak masjid kampus, anak-anak LDK, KAMMI, anak-anak PKS, disatukan dalam kesetiaan bertahun-tahun dalam lingkar kajian “Tarbiyah”.

Kini, seiring berjalan waktu, kiprah semakin beragam. Juga, “lingkar kajian” tak sekadar “pekanan” tapi merambah, masuk ke lingkar-lingkar lain. Pengajian Maiyahan Cak Nun, Kajian Ustaz Adi Hidayat maupun Ustaz Abdul Somad (UAS), pendengar setia Gus Baha, Gus Kautsar, bahkan kajian-kajian Salafi perkotaan “Hijrah” atau taklim-taklim di Masjid Blok M. Menjadi lebih beragam.

Mereka kini sudah berkeluarga dengan banyak anak. Umumnya, anak-anak mereka, tak banyak yang disekolahkan di negeri. Tapi di SD-SD IT, berbagai Kuttab dan pondok pesantren. Setelahnya, dengan pemahaman Islam yang kuat, dengan penguasan bahasa Arab yang memadai, baru “dibebaskan” untuk kuliah di kampus-kampus umum terbaik. Dalam maupun luar negeri.

Saya memandang dari kejauhan. Ikut bahagia melihat kiprah mereka. Wajah-wajah keluarga yang lumayan cukup mapan dari segi bisnis maupun karier. Dengan pemahaman keIslaman yang cukup. Salah satunya tentu dari kesetiaan pada lingkar kajian itu selama bertahun-tahun. Kabar baik juga, telah melahirkan anak-anak dengan, tak hanya pemahaman Islam yang lebih baik, tapi juga penguasaan “Ilmu alat” (nahwu Shorot) mumpuni, sehingga bisa akses membaca kitab-kitab berbahasa Arab, selain mahir cakap-cakap harian memakai bahasa Arab, bahasa peradaban itu.

Hari ini saya belajar tentang kesetian. Dalam lingkar-lingkar kajian. Kesabaran bertahun-tahun mengilmui agama sekaligus mempraktikkannya, pada akhirnya membuahkan hasil. Tak hanya bagi kita (para orang tua), tapi bagi kaderisasi anak-anak peradaban selanjutnya. Tentu saja, semuanya itu sangat mustahil kalau hanya mengandalkan belajar agama sendiri, ototidak tanpa seorang “guru”. Ekosistem semacam ini, saya kira masih tetap terus relevan sepanjang zaman, tentu dengan variasi-variasi mengikuti kencenderungan setiap generasi.

(Yons Achmad. Kolumnis, tinggal di Depok)

About the Author

Yons Achmad

Penulis | Pembicara | Pencerita

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You may also like these