Sumpah Penulis Indonesia

Sumpah Penulis Indonesia
Oleh: Yons Achmad
(Kolumnis, tinggal di Depok)

Sumpah Penulis Indonesia

Saya Penulis Indonesia, mengaku bertumpah darah satu, darah kata-kata
Saya Penulis Indonesia, mengaku berbangsa satu, bangsa kasih sayang
Saya penulis Indonesia, menjunjung bahasa persatuan, bahasa kemanusiaan

Akhirnya bertemu juga. Kawan lama. Di “Loko Cafe” Stasiun Tugu, Jogjakarta. Rutinitas pertemuan ketika berkunjung ke kota penuh kenangan itu. Menyesap secangkir kopi, sambil seperti biasa, bernostalgia. Layaknya sebuah nostalgia, masa lalu adalah sebuah keindahan, bukan yang lain, betapapun getirnya.  Saya akan ceritakan kisah seorang kawan. Dia, sebut saja Bre (nama samaran). Seorang penulis yang sudah pensiun. Kini, menjadi dosen pada salah satu kampus swasta. Juga, beberapa kampus swasta lain. Itulah pekerjaan utama yang kini dijalani. Tak ada yang lain.

Saya sudah lama mengenalnya. Saat dia kuliah sambal mondok di Pondok Pesantren Kutub Jogjakarta. Nama aslinya, Pondok Hasyim Asyari. Lokasi tepatnya, di Jalan Parangtritis Km 7, Bantul.  Didirikan oleh alm Zaenal Arifin Thaha yang sudah berdiri sejak 1998.  Sebuah pondok pesantren sastra dan kepenulisan. Santrinya, para mahasiswa dari berbagai kampus. Syarat masuk pondok itu unik. Ketika sudah memutuskan masuk pondok, tidak boleh lagi minta bekal orang tuanya. Terus, makannya dari mana? Dari hasil menulis.

Hasilnya, anak-anak Pondok Kutub begitu produktif. Beragam karya menghiasi koran dan majalah cetak waktu itu. Hasilnya untuk beragam keperluan selama kuliah.  Begitu proses yang bertahun-tahun dijalani. Kemudian, beberapa diantaranya, lulus kuliah dan kerja dibidangnya masing-masing. Beberapa diantaranya, lanjut kuliah S2 dan S3. Biasanya, yang seperti ini pekerjaan (profesinya) bisa ditebak. Menjadi dosen. Kawan saya di atas, satu diantaranya. Mendedikasikan diri sebagai pendidik, sebagai dosen di kampus. Apakah masih menulis? Kalau untuk komersial tidak. Kalau menulis misalnya jurnal ilmiah sebagai kewajiban, ya pasti.

Kembali bernostalgia. Dulu hanya menulis di koran saja bisa hidup. Apalagi bisa menulis buku. Kawan-kawan dulu, menulis buku cepat sekali. Satu dua Minggu selesai, bahkan kurang dari itu. Diproses sebentar (Semingguan). Hasilnya, sudah bisa beredar di pasaran dan laku, buku apapun itu. Tentu, era buku dan penerbitan yang sedang jaya-jayanya di Jogjakarta waktu itu. Boleh dikatakan, ya mungkin agak berlebihan, setiap gang ada penerbit buku. Menggambarkan bagaimana semaraknya penerbitan buku saat itu.

Hanya, waktu berjalan cepat. Penerbit bertumbangan, koran-koran cetak juga tumbang, beralih ke digital (online). Hanya beberapa yang tersisa seperti Kompas, Media Indonesia, Suara Merdeka atau Kedaulatan Rakyat. Para penulis yang dulu karya-karyanya sering nongol tenggelam, entah ke mana. Beberapa diantaranya sudah berprofesi yang tak ada hubungannya lagi dengan dunia tulis menulis. Lantas, dengan begitu penulis sudah “Mati”? Tentu tidak. Masih banyak yang tekun dalam dunia kepenulisan dan perbukuan. Tetap jadi penulis, walau sambil buka kafe, toko buku, bisnis lainnya.

Saya, satu diantaranya yang masih bertahan. Menjadi penulis. Berawal dari menjadi penulis untuk website kampus dengan honor yang tidak seberapa walau lumayan waktu itu. Terus menulis sampai menjadi penulis beragam media sekarang ini. Dunia berputar, adaptasi diperlukan. Saya mungkin masih merasa setia menjalani hidup sebagai penulis. Tapi, sebab lain. Misalnya, tuntutan keluarga, saya juga membuka diri untuk beragam usaha lain yang mungkin lebih menghasilkan secara finansial. Termasuk, usaha kuliner sekalipun. Tapi, sentimentilnya, saya masih lebih suka disebut sebagai penulis, berprofesi sebagai penulis (kolumnis). Bukan yang lain.

Saya menjadi penulis ibarat orang kantoran juga. Disiplin masuk kantor. Walau, masuk kantor sebagai penulis, artinya hari itu dia menghasilkan tulisan, apapun itu, bukan hari lain. Kalau hari itu gagal, dia boleh dibilang tidak masuk (bolos/absen). Ini disiplin yang saya jalani. Menulis terus setiap hari walau tak selalu mendapatkan uang saat itu juga. Setidaknya, menjadi tabungan naskah yang akan saya kumpulkan menjadi buku kemudian hari.

Selain menulis setiap hari, saya juga tahu diri. Tak setiap hari mendapatkan uang dari kerja-kerja  saya. Itu sebabnya, saya membuka usaha lain. Satu diantaranya adalah PT Brandstory Progres Indonesia (Brandstory.ID), sebuah agency branding. Menjadi solusi bagi problem-problem komunikasi, khususnya branding bagi perusahaan, instansi pemerintah, institusi pendidikan maupun organisasi-organisasi sipil (Yayasan, NGO dll).

Ini kehidupan yang saya jalani sekarang. Menjadi penulis, menulis kolom setiap hari, menjadi penulis spesialis biografi tokoh publik. Sambil sibuk menjadi pembicara publik. Menjadi narasumber dalam seminar, pelatihan, FGD, Talkshow maupun sekadar sharing session seputar dunia komunikasi terapan, kepenulisan kreatif, jurnalistik, literasi juga branding tentu saja. Disela-sela kegiatan, menjadi host  Podcast Depok.  Untuk kegiatan sosial (Socieprenuer) mengelola Eduwakaf.com. Saya cukup menikmati hidup semacam ini, walau perkara cuan, masih perlu digairahkan lagi. Bagaimana denganmu kawan? []

About the Author

Yons Achmad

Penulis | Pembicara | Pencerita

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You may also like these