Sang Profesor itu duduk tenang. Secangkir kopi di depannya. Ia tampak terlihat serius membaca kembali draf buku tentang Partai Komunis Indonesia (PKI). Ia, tentu bukan pendukung PKI. Ia mantan wartawan “Angkatan Bersenjata”. Ia menulis buku seluk beluk bagaimana PKI sebagai partai yang besar, tapi gagal total dalam pergerakan dan berakhir dengan pembubaran.
“Buku ini sebentar lagi tayang Yons,” (Sambil menyebutkan sosok politisi, sejarawan yang kini menjadi pejabat tinggi di Kementerian Kebudayaan). Sosok itu bersedia membantu penerbitan dan pencetakannya. Selang beberapa lama, buku tentang PKI itu sudah beredar di berbagai toko buku dan lapak-lapak penjualan online.
Di lain cerita. Seorang penulis kawakan, dia juga bisa melukis, walau sepertinya lukisannya, tak sebaik karya tulisannya. Tapi, dia punya banyak kenalan. Ia melukis untuk orang-orang tertentu. Ia sengaja pamerkan. Dari situ, lukisan-lukisannya dibeli orang-orang tertentu itu. Ada pengusaha, politisi dan juga pemimpin daerah. Karyanya sudah menemukan tempatnya.
Ia, seorang filmaker, namanya biasa saja, belum punya pamor ternama dikalangan dunia perfilman. Tapi, dia punya mimpi membuat film yang tayang di bioskop. Ia mulai membuat tayangan “pancingan”. Tak hanya semacam teaser, klip pendek, potongan singkat film yang akan tayang. Tapi, juga trailer, menampilkan lebih banyak cuplikan, sehinga penonton (investor) bisa membayangkan film seperti apa yang bakal dirilis karena di sana ada plot cerita yang lebih jelas. Sekian waktu kemudian, mimpi itu tercapai.
Seorang lelaki paruh baya, punya konsep tentang “Tallents Mapping”. Ia menjajakan konsepnya ke mana-mana, lama tak menemukan peminatnya. Ia bertemu kawan sekampusnya. Mantan rektor yang kemudian jadi menteri “Riset dan Teknologi”. Kabar baiknya “dibantu”. Sayang, dia bukan penulis. Sosok ini kemudian berkolaborasi dengan salah satu penulis yang bisa menyulap gagasan-gagasannya jadi buku. Akhirnya, konon ketika dirinya meninggal, buku-bukunya masih dipakai oleh “trainer-trainer” yang memakai konsepnya itu untuk membantu banyak orang kembangkan bakatnya.
Jalan karya memang tak selalu mulus. Seorang pemuda yang jago buat mobil listrik, tersingkir dari negerinya sendiri, tidak mendapat dukungan. Seorang “ahli sampah” dia sudah bisa menciptakan mesin sendiri, pengolahan sampah plasti menjadi karya paving blok, juga tak mendapat dukungan pemerintah. Karyanya, belum menemukan jalannya.
Kisah buku-buku Andrea Hirata lain lagi. Karya perdananya “Laskar Pelangi”, diam-diam dikirimkan oleh kawannya kepada sebuah penerbit. Tak disangka oleh penulisnya, ternyata bisa meledak dan menjadi best seller di pasaran. Penulisnya sendiri tak menyangka karena pada awalnya, sebuah novel itu sebatas hadiah untuk menghormati gurunya.
Dari beberapa contoh di atas, saya kira ide-ide kreatif, memang boleh-boleh saja dijalankan sendiri. Tapi, fakta berbicara, sebuah karya yang menemukan jalannya, ia bersentuhan dengan banyak kalangan. Terkadang, mereka inilah yang kemudian “menghidupkan” karya kita yang mungkin sekian lama mengendap. Memang tak selalu berhasil. Ada seni tersendiri mengomunikasikan karya. Pada orang yang tepat, pada lembaga yang tepat. Sampai, karya itu menemukan jalannya sampai tujuan.
Yons Achmad. Kolumnis, praktisi komunikasi. Pendiri Brandstory.id