“Kamu lebih ke model seniman”
“Kamu bukan modelan pebisnis”
Itu masukan yang saya terima. Seperti biasa, sekian waktu tertentu, saya meminta semacam nasihat atau masukan untuk kebaikan dalam kehidupan. Kepada pasangan, maupun kepada teman-teman terdekat. Kali ini, hasilnya, seperti ungkapan di atas. Saya kali ini dinilai lebih ke modelan seniman, bukan seorang pebisnis. Hasilnya, secara finansial, kondisi saya boleh dibilang, kurang bisa menghasilkan uang atau cuan yang banyak dan berlimpah.
Lalu, obrolan berlanjut untuk mengelaborasi pernyataan-pernyataan itu. Konon, modelan seniman ini kira-kira dianggap sebagai orang yang terlalu sibuk berkarya. Bukan untuk orang lain, tapi lebih kepada mengekspresikan kedirian semata. Karyanya dinilai tidak menjual. Ditambah lagi modelan seniman, gayanya sering semaunya sendiri, tidak taat deadline, kurang disiplin. Hasilnya, cuan tidak begitu menggembirakan.
Sementara, pebisnis lain. Mereka konon goalnya adalah fokus ke target cuan berapa yang ingin didapat. Misalnya bulan ini. Tahun ini. Dari situ baru dirumuskan secara matang bagaimana caranya. Baik dari cara yang paling konvensional sekalipun, sampai cara-cara paling digital dan marketing modern kekinian. Fokusnya pada cuan yang ingin dihasilkan, masalah produk barang atau jasa mengikuti. Bahkan tak peduli harus di luar kompetensi sekalipun Asalkan potensi cuannya ada, kerjakan.
Saya, tentu sedikit mengerti.
Hanya, praktiknya, tak selalu sejalan dengan teori.
Seni menghasilkan cuan memang beragam. Saya sendiri, menjalani “modelan seniman” ini cukup lama. Hasilnya biasa saja. Betul juga, kalau melangkah menjadi “modelan pebisnis”. Ia berdiri sebagai pembisnis, membangin tim yang solid dan akhirnya bisa menjalankan bisnis secara autopilot. Artinya, kita tidurpun, bisnis tetap berjalan dan menghasilkan cuan. Menarik juga.
Jadi, bukan melulu “modelan seniman”. Dia mendapat cuan, hanya ketika bekerja. Mereka tidak punya “Pasukan pekerja”. Terus terang, asyik juga obrolin seni hasilkan cuan ini lebih detail. Masing-masing punya cara dan gayanya sendiri. Satu hal yang pasti, kini saya lebih membuka diri untul perkara ini. Jika ada jalan yang memungkinkan hasilnya cuan lebih banyak lagi, tentu ambil saja kesempatan.
Memang, ada satu hal yang sering masih mengganjal. Yaitu soal “idealisme”. Konon, saya dan perusahaan dengan tim yang ada kurang lentur dalam menjalankan usaha. Terlalu “idealis”. Itu kritikan yang muncul. Kali ini, saya setuju saja masukan, No. debat.
Jadi, dalam perkara seni hasilkan cuan ini, sekarang saya lebih rajin mengomunikasikan. Tak hanya pada orang-orang terdekat. Akan tetapi fokus lagi justru kita komunikasikan dengan pihak-pihak luar yang barangkali belum kenal sama sekali. Untuk perkata syarat dan ketentuan berlalu, kita lebih coba lenturkan. Tak kaku. Bismilah, namanya seni tidak ada patokan pasti, yang ada terus menyelami dan datanglah “jual beli” atau “Kolaborasi”.
Yons Achmad. Kolumnis dan Praktisi Komunikasi.