Pengalaman Sebagai Vegetarian
Oleh: Yons Achmad
(Kolumnis, tinggal di Depok)
Setiap datang hari raya kurban. Jadi teringat pengalaman pernah menjadi seorang vegetarian. Sekira sekian tahunan. Keputusan saya ambil saat merenung sendirian di Masjid Ibnu Batutah, Nusa Dua, Bali. Saat usia saya masih dua puluh sekian. Tak ada alasan yang bisa diandalkan ketika memutuskan demikian. Saya hanya sekadar menjajal kehidupan yang berbeda. Itu saja.
Dulu, walau kehidupan beragama saya masih berantakan, tapi kalau soal makanan saya masih bisa sedikit menjaganya. Di Bali waktu itu, tak gampang juga terbebas dari makanan haram. Makan di hotel dan restoran yang ada tulisan “Muslim friendly” juga belum jaminan. Kenapa? Itu artinya bukan seratus persen halal. Masih ada makanan non halal yang di masak dengan dapur yang terpisah di tempat itu.
Maka, kedai “vegetarian Muslim” menjadi alternatif. Sekian lama bergaul dengan para manusia-manusia vegetarian. Termasuk “gebetan” saya dulu, ternyata menyenangkan. Bergaul dengan para vegetarian, ternyata bukan hanya berkutat dalam soal makanan. Tetapi, juga masuk ke cara pandang dalam melihat kehidupan. Salah satunya, seorang vegetarian, selalu memandang dan menjalani hidup misalnya bagaimana berusaha selalu selaras dengan alam.
Konon, memang ada beberapa jenis kaum vegetarian. Pertama, lacto ovo vegetarian : Seseorang mengkonsumsi makanan yang mengandung biji-bijian, serealia, sayuran (termasuk umbi-umbian), buah-buahan, kacang-kacangan, susu, telur, dan produknya. Kedua, acto vegetarian : Hampir sama dengan yang diatas hanya tak mengkonsumsi telur. Ketiga, Vegan (Vegetarian total) sama sekali tidak mengonsumsi unsur hewani dan semua produk hewani.
Saya, orangnya fleksible saja. Tak mau terjebak ke pola gaya hidup ekstrem. Akhirnya, saya lebih condong ke yang pertama : Lacto Ovo Vegetarian. Tapi itupun setengah hati : Selain telur, saya juga kadang masih mengkonsumsi daging “putih” seperti ayam. Tapi sebisa mungkin menghindari daging “merah” seperti daging sapi, kambing atau kerbau. Dulu, sebelum menikah, saya lebih banyak menjalani kehidupan demikian. Walaupun tentu tidak 100%. Kadang harus beradaptasi dengan keadaan. Misalnya saat bertamu, tetap menyesuaikan diri.
Setelah menikah dan punya anak banyak. Saya lebih sederhana dalam memandang kehidupan. Misalnya dalam soal vegetarian. Rasulullah ternyata makan daging juga. Artinya, memang tak ada larangan makan daging dalam Islam. Mungkin ada yang bilang “Ngapain hidup ruwet, sate, rendang, tongseng yang semua dari daging kan enak-enak, ngapain juga ditolak?”
Ya bukan begitu gaess. Pada akhirnya, semua memang soal selera. Saya sekarang juga lebih fleksible. Tidak terlalu ekstrem dalam urusan vegetarian. Hanya, semisal kondangan misalnya. Ada beragam pilihan. Sayuran, telur, ikan, daging-dagingan. Sudah tentu saya memilih telur, lebih banyak sayur atau ikan. Untuk daging-dagingan, biasanya agak saya kesampingkan. Sekadar upaya menghindari “Unsur Kebinatangan” melekat dalam diri. Konsep yang boleh saja diprotes, tapi saya tak mau berdebat soal ini.
Sementara di rumah. Saya tidak pernah rewel dalam urusan makanan. Bahkan boleh dibilang, saya belum pernah sekalipun, setelah menikah sekian belas tahun, meminta istri memasak makanan “Masakin ini dong”. Semua terserah dia mau masak apa. Kalau enak saya makan banyak, kalau dirasa kurang cocok saya makan sedikit. Itu saja. Pengalaman menjadi vegetarian, menjadikan saya lebih sederhana dalam memandang kehidupan. []