

Penulis | Pembicara | Pencerita
Lelaki tidak bercerita. Ah siapa bilang? Mitos itu. Anak Jogja bilang ah “Dagadu” (Matamu). Beredarnya meme lelaki tidak bercerita di media sosial, rasa-rasanya memang semacam upaya para lelaki untuk sekadar menghibur diri semata. Berupaya tetap terlihat strong, kuat, tidak mengeluh. Semua, terlihat tampak baik-baik saja. Ahai.
Misalnya, seorang ayah yang duduk sendirian di teras rumah, pada malam yang dingin. Merenung sendirian. Sengaja ke luar, ngopi di kedai-kedai kopi, atau sekadar menyesap kopi murah di Indomart atau Alfamart. Terlihat dan tampak baik-baik saja. Aslinya sedang stres betul hadapi beragam masalah.
Dokter ahli kesehatan jiwa, dr. Jiemi Ardian, Sp.KJ, (Kompas/15/11/24) menjelaskan bahwa laki-laki bisa membawa beban mental yang lebih besar jika terus menahan perasaannya. Cerita itu cara alamiah untuk seseorang meredakan dan melepaskan emosinya. Ketika laki-laki tidak bercerita, mereka membawa beban emosional yang lebih besar. Hal ini tidak hanya berdampak pada kesehatan mental mereka, tetapi juga bisa menghambat hubungan sosial.
Banyak laki-laki yang merasa bahwa membuka diri atau berbagi masalah sama saja dengan merusak citra kuat mereka sehingga mereka memilih menahan semuanya dalam diam. Padahal, tekanan tersebut dapat menjadi bumerang bagi mereka. Tidak jarang, tekanan ini mengakibatkan ledakan emosi yang membahayakan diri sendiri dan orang di sekitar.
Bagi kaum urban, saya ingat ada juga fenomena semacam duck syndrome atau sindrom bebek. Duck syndrome adalah kondisi ketika seseorang berusaha menutupi kesulitan dan kewalahan dirinya, hanya untuk menunjukkan citra diri sempurna di hadapan orang lain.
Istilah ini mengacu pada kondisi bebek di mana terlihat tenang berada di atas air meski sebenarnya kakinya di bawah air terus bergerak agar ia tidak tenggelam. Istilah ini dikenalkan oleh Universitas Stanford untuk menggambarkan para mahasiswanya di mana tampak tidak kesulitan mencapai nilai terbaik meski kenyataannya mereka jungkir balik.
Tanpa takut misalnya kehilangan “Kejantanan”, rasa-rasanya, bercerita cukup masuk akal. Untuk sekadar melepas beban. Memang, versi ceritanya berbeda. Ada yang bisa langsung bercerita saat ngopi-nopi bersama, membuat video-video singkat di medsos, atau menulis. Saya sendiri, cenderung ke versi ketiga. Menuliskan segala unek-unek lewat tulisan.
Dari pengalaman, ketika menulis, kita tidak beropini begitu saja. Tapi, pada akhirnya “dipaksa” semacam membangun argumen dari setiap pandangan, langkah dan keputusan-keputusan yang diambil. Dengan menulis, akhirnya (dalam pengalaman pribadi), bisa menemukan jalan ke luar yang lebih realitis, terhormat, elegan dan bisa dipertanggungjawabkan.
Salam
Yons Achmad
Penulis & Praktisi Branding
Pendiri Brandstory.id