Gaya Berkarya Single Tasking

Setiap orang punya gaya tersendiri dalam bekerja. Saya perhatikan pasangan hidup dalam keseharian. Dia, bangun pagi. Sholat subuh, tilawah. Lalu, melakukan tiga hal sekaligus. Memasak, mencuci baju, membalas pesan-pesan WA. Selesai hampir bersamaan, dia bergaya “Multitasking” dalam bekerja. Setelahnya, berbenah. Siap-siap kunjungi pasien “Home Care”nya. Siang, pulang, makan dan istirahat. Sorenya, ke tempat pasien “Home Care” nya yang lain. Singkat kata, dalam sehari, lakukan banyak hal. Sangat produktif.

Sementara, saya beda. Saya tipe “Single Tasking”.  Saya cenderung hanya bisa melakukan pekerjaan satu persatu. Satu selesai baru kerjakan lainnya. Saya pernah coba-coba “Multi Tasking” dalam berkarya. Merancang banyak karya. Misalnya, tahun 2005, saya merancang penerbitan novel, kumpulan cerpen, kumpulan kolom, buku utuh dll. Hasilnya, semua berantakan.

Sampai lebaran tiba, artinya dalam tempo tiga bulan (Januari-Maret 2025) saya hanya menghasilkan satu karya saja. Sebuah Biografi berjudul Suryadi Jaya Purnama “Berkhidmat Tiada Henti”. Sebuah buku politikus PKS sekaligus Ketua Umum Alumni KAMMI. Memang, saya masih rutin menulis kolom setiap hari. Tapi masih menjadi semacam “Tabungan Karya”. Belum misalnya bisa diterbikan menjadi sebuah buku.  Saya merasa produktivitas saya termasuk lamban.

Itu sebabnya, saya sangat tertarik dengan isu produktivitas. Bagaimana menjadikan keseharian kita itu produktif menghasilkan karya-karya. Tentu, karya-karya yang ada “Cuannya”.  Barangkali, memang menulis buku tidak bisa sehari jadi (Kecuali pakai Chat GPT). Butuh waktu yang lama. Tapi, kalau berbulan-bulan ya menurut saya kelamaan. Maksimal menulis buku sebulan saja. Selebihnya, seorang penulis bisa menjadi pembicara publik. Mengisi beragam workshop atau pelatihan. Menjadi narasumber, atau semisal menjadi Podcaster (Host Podcast). Ini yang saya jalani sekarang.

Tapi, saya merasa tetap saja, dari segi produktivitas, kurang betul. Idealnya, sebulan satu buku. Target yang tidak mengada-ada.  Susah memang. Tapi, saya kira bisa dikerjakan. Gaya berkarya, bekerja secara “Single Tasking” rasa-rasanya bisa juga. Konon, Gloria Mark dalam bukunya “Company of One”, seseorang memerlukan waktu sekitar 23 menit 15 detik untuk menghadapi satu gangguan agar ia dapat kembali berkonsentrasi pada pekerjaan utama. Itulah sebabnya, memilih untuk menyelesaikan pekerjaan secara “Single Tasking” jauh lebih bermanfaat untuk dilakukan.

Hanya, dalam praktiknya, memang perlu memerhatikan  “Biological Prime Time”. Semacam waktu yang paling produktif dalam mengerjakan atau melakukan sesuatu.  Saya misalnya, waktu pagi adalah untuk menulis, bukan membaca. Itu saya lakukan di malam hari. Saya merasa waktu pagi, terutama setelah subuh adalah waktu yang paling membuat saya produktif menulis.

Terinspirasi oleh pasangan hidup saya, dia setiap hari bisa “Menghasilkan Cuan”. Saya, ternyata belum bisa semacam itu. Misalnya dari menulis buku “pesanan”. Setelah selesai project ya sudah. Saya baru menyadari, setelah sekian lama, ternyata saya abai pada proses berkarya atas nama sendiri. Hingga, seorang teman menceritakan semacam bisnis “Produk Digital” yang perlu diluncurkan sebagai semacam jalan “Pendapatan Harian”. Boleh juga idenya. Dan ide menarik hanya bisa dikerjakan untuk bisa “menghasilkan”.  Kalau hanya “Dipikirkan”, tentu tak mendatangkan “Cuan”. Ahaiii. []

Salam

Yons Achmad
Penulis
Praktisi Branding
CEO Brandstory.ID

About the Author

Yons Achmad

Penulis | Pembicara | Pencerita

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You may also like these