

Penulis | Pembicara | Pencerita
Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar
La ilaha illa Allahu Allahu Akbar
Allahu Akbar wa Lillahil hamd
(Allah Maha Besar,
tiada Tuhan selain Allah.
Allah Maha Besar dan segala puji bagi Allah)
khir ramadhan. Saatnya datang bulan syawal, lebaran. Suara takbir berkumandang, disertai tabuhan bedug. Dug… dug dug dug..dug…dug dug dug dug. Suara semacam itu masih terdengar di perkampungan Jawa. Tak terkecuali, kampung saya. Talaman, Sawangan, Magelang. Tradisi takbiran diiringi bedug itu terus berkumandang sampai pagi. Sebuah tradisi yang masih lestari.
Sebuah tradisi sambut lebaran. Dalam khazanah kebudayaan Jawa, kata Lebaran sendiri berasal dari kata lebar, yang dapat berarti usai, selesai, atau rampung. Padan kata lebar adalah ‘bakda’ yang juga artinya sesudah. Jadi Lebaran artinya lebar puasa (habis puasa) atau bakda puasa (rampung puasa). Lidah orang Jawa suka menyederhanakan kata, sehingga Bakda pun terucap menjadi ‘Bada’. Sehingga di Jawa lebaran juga berarti ‘Bada’ atau ‘Badan’, yaitu momentum Idul Fitri pada tanggal 1 Syawal.
Dalam konteks lebaran atau ‘Bada’ itu, ada istilah yang mungkin terkesan “Othak athik gathuk” (Cocoklogi) yang mengikutinya. Entahlah. Tapi, dalam tradisi lisan, cerita nenek moyang kami dulu, lebaran, setidaknya punya beberapa makna semacam ini. Diantaranya:
Pertama, Lebar. Artinya selesai. Ya, selesai melaksanakan ibadah puasa ramadhan sebulan penuh. Saatnya merayakan kemenangan di bulan syawal yang kemudian akrab kita sebut dengan lebaran. Sejak dulu sampai sekarang, momentum lebaran ini menjadi hari yang membahagiakan karena momen-momen terindah banyak tercipta. Temu kangen keluarga. Terutama temu kangen dengan perantau ditemani sajian khas menu lebaran, hadirkan momen-komen manis yang mengenangkan. Salah satunya menu “ketupat” atau “kupat” berasal dari kata bahasa Jawa “ngaku lepat” yang berarti “mengakui kesalahan”.
Kedua, Labur. Artinya mewarnai. Era 1990-an kampung-kampung di Jawa, rumah-rumah masih banyak berdindingkan kayu dan bambu. Dulu, ada tradisi melabur, mengecat rumah atau mushala dengan semacam semen putih (gamping). Sebuah simbol mewarnai dengan putih yang mengandung beberapa makna. Tapi yang utama adalah simbol kebersihan. Baik secara fisik kebersihan lingkungan rumah tinggal dan tempat ibadah, juga simbol kebersihan diri, kebersihan hati.
Ketiga, Luber. Artinya melebihkan. Sebuah momentum semangat bersedekah. Sebenarnya, sudah dimulai sejak bulan ramadhan di mana setiap amal ibadah dilipatgandakan. Jelang lebaran, menunaikan kewajiban berzakat. Dikenal dengan zakat fitrah. Sebuah kewajiban setiap laki-laki dan perempuan muslim, keluarkan beras atau uang setara 47 ribu/jiwa. Tradisi berbagi kemudian berlanjut saat lebaran. Setiap muslim berlomba-lomba dalam fastabikhul khairat dengan melebihkan (ngluberaken) harta yang dimilikinya dengan banyak berbagi atau bersedekah kepada keluarga, kerabat atau warga di sekitarnya.
Harapannya, semuanya menjadi “Lebur” atau melebur. Apanya? Dosa-dosa, baik dosa kepada Tuhan (Allah Swt) maupun pada sesama. Saling berjabat tangan, silaturahmi, bermaaf-maafan serta berbagi kebahagiaan, menjadikan “Lebur” terhapus segala dosa-dosa sehingga menjadi manusia baru yang kembali fitri. Kembali suci. Itulah versi lebaran bagi orang Jawa yang saya kira, tak bertentangan dengan ajaran agama (Islam). Bahkan, menjadi sebuah tradisi yang perlu terus dilestarikan bahkan dikembangkan. []
Salam
Yons Achmad
Kolumnis
Praktisi Branding
CEO Brandstory.ID