Filosofi Perayaan Idulfitri

Perayaan Idulfitri, sebuah peristiwa keagamaan. Dalam dimensi Islam, kita bisa memaknai misalnya Idul fitri berasal dari dua kata “id” dan “al-fitri”. Id secara bahasa berasal dari kata aada – ya’uudu, yang artinya kembali. Hari raya disebut ‘id karena hari raya terjadi secara berulang-ulang, dimeriahkan setiap tahun, pada waktu yang sama.

Sedangkan kata ‘fitri’ memiliki dua makna, yaitu suci dan berbuka. Suci berarti bersih dari segala dosa, kesalahan, kejelekan, dan keburukan. Sedangkan fitri yang berarti berbuka berdasarkan pada hadits Rasulullah SAW: ”Dari Anas bin Malik: Tak sekali pun Nabi Muhammad SAW pergi (untuk shalat) pada hari raya Idul Fitri tanpa makan beberapa kurma sebelumnya.”

Kali ini, izinkan saya sedikit menyenggolnya dalam dimensi filosofis. Bagaimana kita benar-benar bisa memaknai idulfitri dengan sebuah kesadaran dan pencerahan baru. Dalam dimensi filosofi profetik (kenabian), kondisi demikian seharusnya dimiliki dan dirasakan. Sebuah kondisi yang para pemikir filsafat sering menyebutnya dengan homeostasis, apa itu?

Istilah homeostatss berasal dari bahasa Yunani “homio” yang berarti mirip dengan dan “stasis” yang berarti berdiri diam. Sehingga homeostasis adalah kondisi di mana makhluk hidup mempertahankan kondisi yang stabil. Dalam biologi, dimaknai sebagai proses dan mekanisme otomatis yang dilakukan makhluk hidup untuk mempertahankan kondisi konstan agar tubuhnya dapat berfungsi dengan normal, meskipun terjadi perubahan pada lingkungan di dalam atau di luar tubuh.

Para pemikir kemudian mengembangkannya agar bisa relevan dengan praktik kehidupan manusia. Saya sendiri mengenal istilah homeostasis ini sebagai sebuah kesadaran dan teknik dalam penyembuhan diri. Saat sedang stress, panik, kondisi yang di luar harapan, pemaknaan homestasis ini cukup membantu dalam proses penyembuhan diri seseorang. Dikaitkan dengan idulfitri, saya kira cukup relevan untuk menjadi bahan obrolan.

Homeostasis, boleh dimaknai ketika tubuh manusia kembali ke dalam kondisi yang alami, kembali ke fitrahnya. Kalau dalam istilah teknologi kiwari (kekinian), ketika kita punya perangkat gawai pintar, sebut saja “reset to factory setting”. Kembali ke dalam kondisi yang paling awal. Nah, seringkali, manusia tidak bisa kembali ke kondisi awal demikian karena manusia terlalu banyak pikiran. Stres, takut, cemas akan masa depan sehingga badan dan pikiran tidak bisa rileks dan tenang. Homeostasis kemudian tidak terjadi.

Momen homeostasis ini, saya kira pas kita rayakan di idulfitri tahun ini. Pikiran dan hati kita kembali ke fitrah. Kita bebaskan hati dari segala macam kebencian, semua bermaaf-maafan yang dimulai dari berjabat tangan dengan saling bertatap mata dan sedikit senyuman. Kita kembali ke episode kondisi kita yang alami, natural, fitrah yang tak terkotori oleh beragam muatan yang kita isi setahun belakangan baik sadar maupun tidak sadar.

Kita kembali ke jatidiri yang asli. Kita kembali ke dalam diri yang stabil. Dalam fillosofi ketimuran, kondisi demikian sering dipahami sebagai kondisi “Sebelum Pikiran”. Kita akan sampai pada kondisi rileks yang sadar. Sebuah titik nyaman untuk membantu tubuh dan pikiran memulihkan dirinya sendiri. Ketika kita berada di kondisi homestasis ini, saya kira bisa membantu seseorang untuk kembali memutuskan, kembali merancang masa depan. Bukan dengan kekusutan pikiran, tapi dengan ketenangan yang melahirkan pencerahan. Inilah salah satu perayaan idulfitri yang hakiki []

Salam

Yons Achmad
Kolumnis
Praktisi Branding
CEO Brandstory.ID

About the Author

Yons Achmad

Penulis | Pembicara | Pencerita

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You may also like these