Selebrasi Mudik Lebaran

Bagi seorang perantau dari Jawa (Magelang) yang bekerja di Jakarta, mudik alias pulang kampung disaat lebaran tiba adalah semacam selebrasi tahunan bagi saya. Semacam momentum mengobati rindu akan kampung halaman. Bertemu dengan orang tua, saudara yang sekira setahun tak bertemu. Hanya sebatas saling sapa lewat telepon atau pesan WA.

Momentum selebrasi mudik lebaran, memang bukan bagian syariat agama yang wajib dilaksanakan. Hal itu semacam tradisi atau budaya saja. Artinya, setiap orang fleksibel saja dalam menyikapinya.  Walaupun begitu, sebatas tradisi atau budaya, sepertinya tetap saja punya dimensi spiritualitas. Mudik pulang kampung, berkumpul dengan keluarga, saling maaf memaafkan dalam tradisi halal bi halal sepertinya juga dianjurkan dalam agama.

Di Indonesia, liburan lebaran lumayan panjang. Berdiam diri di Jakarta dan sekitarnya, tidak pulang kampung, rasanya kok ada yang kurang. Bahkan, biasanya, ketika lebaran tiba, kota-kota besar seolah mendadak jadi sunyi. Memang, menyenangkan. Tapi, bagi perantau yang tak pulang kampung, dengan beragam alasan, sepertinya dunia perantauan menjadi dunia yang hampa, sebuah nuansa kesepian yang kerap terasakan.

Kerinduan untuk pulang kampung, rasa-rasanya tetap menggebu-gebu bagi para perantau. Bayangkan, ketika tiba di kampung halaman. Ditandai dengan kumpul bersama di lapangan. Menunaikan ibadah shalat idul fitri bersama. Disusul berdoa bersama dan saling bersalam-salam melepas kerinduan. Saling bertatap muka. Menyaksikan wajah-wajah yang sekian lama tak bersua. Ada yang tampak tetap muda, ada yang tampak sudah mulai menua. Semua itu hanya bisa disaksikan ketika pulang kampung. Sungguh sebuah momentum yang spiritualis, juga, boleh dibilang romantis.

Sementara, secara filosofis, mudik, sejatinya adalah sebuah petanda.  Bahwa siapapun dan di mana pun kita, suatu saat kita akan kembali ke asalnya. Mudik hanya simbol, bahwa kita pasti akan pulang. Karena setiap manusia, pasti suatu saat nanti akan kembali ke tempat sang pencipta. Hingga saatnya tiba, bisa kembali ke tempat terbaik di sisi-Nya.

Dalam praktiknya, mudik adalah  semacam ritual sederhana. Untuk mengenali siapa sebenarnya kita, dari mana kita berasal. Mudik lebaran adalah momentum untuk mencapai kesucian lahir dan batin. Sebuah proses tazkiyatun nafs, membersihkan jiwa yang pernah dikotori oleh diri kita sendiri. Di tempat mudik, kita melapangkan hati untuk menemui orang tua dan orang-orang yang berjasa pada kita. Lalu berani meminta maaf dan memaafkan kesalahan orang lain. Mudik itu mengajarkan kita untuk jujur mengakui kesalahan, lalu saling memaafkan.

Sungguh, sebuah selebrasi yang ternyata berdimensi spiritual juga. Tapi, bukankah tradisi mudik sudah bergeser, bukan semacam itu? Kadang, malah jadi ajang pamer (flexing), unjuk kesuksesan diri, momentum memamerkan kekayaan? Sebentar. Di dunia ini, kejelekan memang selalu tampak, bahkan tanpa mencarinya.

Di sini, saya tak menutup mata akan fakta demikian. Tapi, selebrasi mudik lebaran dengan diawali dengan kebersihan hati, sepertinya masih banyak mendatangkan kemaslahatan. Jadi, selamat berlebaran, mudik ke kampung halaman. Merawat tradisi tahunan yang selalu dan pasti ada cerita dan kenangan tersendiri setelahnya. []

About the Author

Yons Achmad

Penulis | Pembicara | Pencerita

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You may also like these